Refleksi

Show me a smile then, don’t be unhappy
can’t remember when i last saw you laughing
if this world makes you crazy
and you've taken all you can bear
you call me up because you know I'll be there

And I'll see your true colors shining through
i see your true colors, and that's why I love you
so don't be afraid to let them show
your true colors, true colors are beautiful
like a rainbow
(Phil Collins, True Colors)

Itu sebuah syair lagu, bukan puisi atau ungkapan-menyemangati dari seseorang untukku. Tapi tak apa sebab ini sudah cukup. Kadang hanya kita yang mampu mengobati diri kita sendiri. Ada banyak diksi tersedia, bermacam bentuk ekspresi dan ragam bahasa untuk mengungkapkan ketertekanan, namun tak ada yang sebaik aktivitas ini. Menarik diri ke dalam dan mendengarkan. Betapa aku butuh disemangati bukan dengan cara yang biasa. Sementara tak ada lagi manusia yang berbahasa sama sebab jarak bisa menyekat hati. Bukan tentang kuantitas, tapi seberapa parah memang penyakit ini menggerogoti nuraniku.
Hanya dengan yang pas ia kembali mau membuka. Kegelapan di dalam membuatku merasa kecil. Tapi ia dapat melihat warna sejatiku. Dan aku bersyukur masih ada yang mau percaya, meskipun itu hanya sebuah syair lagu.

Aku mencoba tersenyum lagi. Kepercayaan tak akan pernah bisa habis, kutahu, hanya memudar dan dengan usaha kembali, ia akan datang menerangi. Tak ada yang boleh membuatmu takut lagi meski dunia memang membuatmu gila. Ada yang selalu melihat dan mengerti. Ada yang tak pernah putus memahami. Bahwa kamu tengah berjuang mengusir kekhawatiranmu. Dan ia ingin selalu melihat, kamu baik-baik saja.

                Show me your colors,
                show me your rainbow

Terima kasih, Om Collins. Aku kembali menemukan diriku sendiri dan keyakinan yang menguat:
doa bukanlah rekayasa bahasa dan tuhan tetaplah yang hadir lewat caraku sendiri, bukan yang lain.

0 comments: