Safar itu nama bulan kedua di penanggalan hijriah. Safar juga punya arti ‘perjalanan’. Arti ini ternyata cocok banget melekat pada sosok manusia tinggi besar yang kuat nan cekatan bernama Safar alias Bang Safar. Perannya dalam cerita perjalananku ini adalah sebagai benang merah. Alasannya, dialah yang menghubungkan kami dari satu tempat tinggal ke tempat tinggal yang lain selama lima tahun ini. Dia adalah supir Gobox.
Sebelum melanjutkan kisah Bang Safar, aku mau kasih tahu dahulu kalau kami kehilangan 99% persen kenangan berbentuk foto akibat hardisk eksternal rusak. Semua foto semasa hidup disimpan di sana bersama data penting dan enggak penting lainnya, bahkan foto pernikahan kami juga ada di situ! Sedih, ya... Jadi, maaf kalau cerita-ceritaku tidak disertai foto pendukung. Tapi, percayalah, ini bukan fiksi, kemasannya saja yang terbaca seperti kisah cerbung majalah Aneka Yess!. Hehehe.
Pertemuan Pertama
Pentingnya Bang Safar dihadirkan dalam kisah ini adalah karena cerita tentang dia itu agak unik. Sebelumnya kami enggak mengenal Bang Safar sampai kami harus pindah dari Rumah Puspa ke Rumah Taman pada sekitar bulan Oktober 2016. Ini adalah perpindahan pertama kami yang menandai awal petualangan kami sebagai keluarga nomaden. Memesanlah kami Gobox untuk mengangkut barang-barang yang memang banyak, bahkan sampai dua kali balik ketika itu dengan mobil boks kecil. Supirnya, ya, Bang Safar ini.
Kesan pertama terhadap Bang Safar, dia itu kuat, cekatan, dan bersahabat kepada klien. Perawakannya tinggi, besar, dan agak hitam, sesuailah untuk standar pelaku jasa angkut barang, baik dilihat secara fisik maupun pelayanan. Menurutku, dia pantas dijadikan idola para kaum nomaden atau semacamnya. Kami sendiri merasa kagum dan sangat terbantu dengan kekuatan dan kecekatannya memindahkan barang. Selain itu, dia juga punya intuisi yang bagus perihal komposisi barang dalam mobil boks. Ini penting dimiliki oleh seorang pelayan jasa angkut barang karena terkait dengan nasib barang klien. Jangan sampai ada kaca yang pecah, furnitur kena baret, atau ruang dalam mobil boks yang tersia-siakan. Prinsipnya, angkut semuat mungkin barang jangan sampai ada yang lolos alias tidak terbawa. Hal-hal ini penting untuk membuat klien percaya dan merasa aman. Bagi kami, Bang Safar adalah yang terbaik di koloni supir Gobox!
Pertemuan Berikutnya
Mengawali tahun 2018, kami pindah tempat tinggal lagi, yaitu dari Rumah Taman ke Rumah Seruni (cerita tentang rumah-rumah ini nanti ada bagiannya sendiri, ya...). Barang-barang kami masih banyak waktu itu sehingga kami pun memesan Gobox lagi. Eh, ternyata yang datang adalah si Safar lagi. Awalnya juga kami tidak sadar, kan, sudah setahun yang lalu, jadi sudah lupa. Tapi, Bang Safar ini justru yang mengingatkan, "Waktu itu, kan, pas awal pindah ke sini sama saya." Eh, pas pindah dari sini juga sama dia lagi. Hehehe. Walhasil, kami pun meminta nomor teleponnya setelah itu. Fixed, ini, sih, jadi langganan tanpa mesti pesan lewat aplikasi (semacam mengikuti firasat yang mengatakan bakal pindah-pindahan terus).
Cerita selanjutnya, tentu sudah bisa diduga, bahwa sebagai keluarga nomaden, kami ternyata sudah sepaket dengan jasa angkut barangnya, yaitu Safar. Kami biasa menghubungi dia secara pribadi, tapi soal tarifnya, kami cek via aplikasi. Tak butuh waktu lama, cukup sebulan kurang beberapa hari saja sejak pindah ke Rumah Seruni itu, Bang Safar sudah kami telepon lagi. "Angkut, Bang! Kita mau pindah ke Depok!"
Ilustrasi angkut barang (sumber: ini). |
Yeah, jadilah malam di sekitar awal Februari 2018 itu kami sekeluarga pindah tempat tinggal lagi. Kali ini agak jauh karena kami pindah wilayah pemerintahan daerah tingkat II alias beda kabupaten/kota. Kami yang bertahun-tahun tinggal di Kabupaten Bogor akan hijrah ke Kota Depok, tapi di wilayah yang masih dekat perbatasan dengan Kabupaten Bogor. Kami pindah ke sebuah unit di Apartemen Lotus (Lotus Bu Nina).
Di malam perpindahan inilah kami menemukan kesempurnaan lagi dari seorang Safar, yaitu dia mengenal banyak jalan. Jadi, tanpa perlu menjelaskan panjang lebar atau mengikuti peta, dia sudah tahu lokasi yang dituju dan ngebut duluan sampai di situ, bahkan dia melalui jalan tikus yang kami saja di mobil kecil suka lihat-lihat situasi dahulu kalau mau melalui jalan yang kelewat langsing itu. Tapi, ini, si Safar dengan badannya yang besar dan mobil boksnya yang penuh muatan barang, dengan percaya diri melewati jalan tikus. Ya, kami menduga dia lewat jalan itu karena cepat sekali sampai ke lokasinya, sementara kami yang di mobil belakangan malah berjalan santai menikmati perjalanan malam yang sepi dan syahdu. Melintasi perbatasan Cibinong-Depok, aku merasa malam itu kami sedang dalam sebuah petualangan besar dari yang namanya hidup. Aku terkesan sekali dengan perjalanan perpindahan kami malam itu, seperti, "Oh, my God, we're on a journey now! It's such a real real journey. We move ooon..."
Setelah selesai mengerjakan tugasnya malam itu, sebelum pamit Bang Safar sempat berkelakar dengan nada berpetuah kepada suamiku, "Sudah, ya, jangan pindah-pindah lagi, capek saya ngeliatnya." Haha, mendengarnya aku hanya tertawa. Dia itu seperti enggak sadar saja siapa dirinya. Selama perpindahan kami masih melibatkan dia, selamanya pula kami akan tetap berpindah-pindah. Namanya saja sudah Safar, artinya 'perjalanan', mana bisa kami berhenti selagi kami masih ditemukan dengan "si perjalanan" ini. Ya, tapi tentu pikiranku yang seperti ini tidak hadir saat itu juga. Malam itu jelas belum ada apa-apanya. Perjalanan perpindahan kami masih akan terjadi berkali-kali, di antaranya dua kali lagi bersama dia, tapi yang terakhir jelas tidak.
Safar dan Simbol Perjalanan
Itulah uniknya kisah Safar, si Simbol Perjalanan. Dari Lotus Bu Nina, kami masih akan melalui enam kali pindah tempat tinggal. Dari keenam perpindahan, ada sebanyak tiga kali pindahan yang kami butuh mobil boks. Kami tentu saja menghubungi Safar. Sekali menghubungi, yang datang Safar, kami masih pindah lagi dari tempat itu pada waktunya. Dua kali menghubungi, yang datang Safar, kami masih harus pindah lagi dari tempat itu pada waktunya. Tapi, pada suatu ketika kami harus pindah lagi dan menghubungi Safar, sedangkan yang datang bukan Safar, kami bertahan, loh! Hahaha. Setidaknya, kami tidak atau belum akan pindah-pindah lagi dari yang sekarang ini dan ini sudah hampir setahun lamanya kami hidup menetap. Bagaimana aku tidak menjulukinya si Simbol Perjalanan? Dia sendiri sudah 'perjalanan' dan aku mendapati "kebetulan" yang unik dari kisah perpindahanku bersama Bang Safar.
Kami sekarang tinggal di Rumah Si Mbah. Kami sebenarnya sudah dua kali tinggal di sini. Tinggal yang pertama, kami hanya bertahan setengah tahun. Ketika itu kami harus pindah dari sini untuk tinggal di Ciampea selama beberapa bulan lamanya. Di kali kedua kami tinggal di sini, kami masih bertahan sampai sekarang dan mungkin akan menetap (entah sampai berapa lama). Lucunya, waktu pindah ke sini yang pertama, barang kami diangkut Safar, sementara kami sebenarnya berencana untuk menetap lebih lama di sini ketika itu. Tapi, mungkin karena melibatkan si Safar, aku sendiri sampai tidak menyangka kalau pada suatu hari kami harus pindah lagi dari sini karena suatu alasan--entahlah, mungkin ada perjalananku yang belum rampung. Sementara itu, pada perpindahan ke sini untuk yang kedua kalinya, barang kami tidak diangkut Safar, padahal kami menghubungi dia. Malam itu Bang Safar tidak bisa mengurusi kami karena ada pekerjaan lain. Dia lalu mendelegasikan tugasnya kepada temannya meskipun mobil boks yang digunakan tetap punya Safar. Walhasil, kami belum pindah-pindah lagi, tuh, dari tempat ini sampai sekarang. Jika saja yang datang malam itu Safar, mungkin kami hari ini sudah berada di tempat tinggal yang lain lagi. Hehehe.
Aku jadi merasa lucu sendiri karena cerita ini menurutku unik. Sebuah kebetulan yang relate banget, bukan? Safar, perjalanan, dan simbol. Kalian percaya ada kebetulan enggak, sih, di dunia ini? Kalau aku enggak. Daun yang jatuh saja sudah menjadi bagian pengetahuan-Nya, apalagi ini urusan sebesar badan Safar. Hehehe. Tapi, percayalah, kesadaran ini pun baru muncul ketika aku menuliskan kisah si Safar ini. Awalnya, aku menulis tentang dia hanya karena aku tiba-tiba mengingatnya. Lantas, menurutku, cerita tentang dia itu penting sebagai benang merah perjalanan #petualangansepuluh ini. Tapi, begitu ditelusuri, wah, aku jadi merasa takjub sendiri. Ternyata, petunjuk Tuhan itu begitu nyata, ya, dan unik. Di awal dikasih ketemu Safar dan secara "kebetulan" dia datang lagi di kali kedua ketika memesan lewat aplikasi, itu mungkin Tuhan sedang kasih tahu aku tentang takdirku di depan. Andai manusia bisa peka pada hal-hal semacam ini, tentu kita dapat memahami cara Tuhan berkomunikasi dengan kita, ya. Dengan begitu, kita juga bisa lebih mengetahui jalan kita, bersiap diri, dan tetap tenang menghadapi apa pun yang ditakdirkan oleh Yang Mahatahu.
Sehat-sehat terus, ya, Bang Safar!
0 comments:
Posting Komentar