Rumah vs Kendaraan

"Bawakan aku kendaraan!" seru almarhumah tak lama sebelum kepulangannya ke haribaan Tuhan. Kira-kira begitu kesaksian seorang kawan dekat, sesama dosen, ketika ia harus mengungkapkan kenangan, semacam obituari, tentang almarhumah. Katanya, "Itu seperti simbol yang baru sekarang saya sadari. Ia meminta kendaraan untuk datang menjemputnya, membawanya menuju tempat yang abadi."


Malam itu ada doa bersama atas wafatnya seorang dosen sastra di kampus tempatku berkuliah. Aku ikut serta sebab turut berdukacita dan ini menjadi bentuk penghormatan terakhirku untuk seorang guru. Meskipun bukan dosen filologi yang mengajariku langsung ketika itu, melainkan ia adalah dosen ilmu susastra secara umum, tapi setidaknya aku ada dalam dua kelasnya, yakni Kritik Sastra dan Metode Penelitian Sastra. Aku merasa mengenalnya, terkesan dengan cara ia mengajar semasa hidup, dan turut kehilangan. Karena itu, aku ikut doa bersama yang dilangsungkan pihak fakultas via zoom.


Mendengar cerita tentang kendaraan yang kusebut di awal itu, aku tergerak menuliskannya untuk kisah #petualangansepuluh ini. Aku kemudian mengaitkannya dengan ceritaku sendiri tentang sebuah pilihan yang pernah kuambil beberapa tahun lalu yang secara tidak sadar telah merepresentasikan siapa diriku dan bagaimana aku memandang hidup ini. Pada berikutnya, cara berpikir inilah yang turut menentukan takdirku hingga ada pada masanya itu aku melalui kehidupan nomadik untuk waktu yang lumayan lama--dan mungkin telah menjadi dasar atas semuanya.


Dalam cerita si Ibu Dosen yang meninggal, kendaraan menjadi sebuah metafora. Diceritakan bahwa ia suatu hari berkelakar tidak mau dibawakan makanan, buah, atau apa pun saat dijenguk, kecuali kendaraan. Tentu yang dimaksud almarhumah bukan mobil, motor, atau jenis kendaraan lainnya (sebab si Ibu punya mobil--aku tahu karena beberapa kali parkir berdekatan di area parkir mahasiswa). Kendaraan di sini adalah "sesuatu" yang bisa dinaiki, yang bisa ditumpangi, yang bisa apa saja bentuknya. Sebabnya, si Ibu akan melakukan sebuah perjalanan. Ini bukan perjalanan lintas kota atau negeri yang bisa dilakukan hanya dengan mobil atau pesawat terbang. Meskipun begitu, untuk menempuh perjalanan ini, si Ibu tetap butuh kendaraan. Ini adalah perjalanannya yang terakhir, karena itu, ia minta dibawakan kendaraan yang dapat mengantarnya kepada tujuan perjalanannya itu. Maka, ketika kematiannya tiba, kita jadi tahu makna kendaraan dalam kalimatnya dan dengan demikian, dipastikan kendaraan yang ia minta itu sudah datang. Ia sudah dijemput dan kini sedang berkendara dalam perjalanan di alam setelah kehidupan--semoga ia selamat sampat tujuan. Kendaraan di sini tentu menjadi sangat simbolis, bukan?


Kendaraan menjadi sangat representatif. Asosiasinya jelas sekali: ada kendaraan, (pasti) ada perjalanan. Tak peduli jauh atau dekat, lama atau singkat, setiap perjalanan membutuhkan kendaraan. Kendaraan menjadi penghubung antara satu tujuan dan tujuan yang lain, dari satu perjalanan ke perjalanan lainnya. Kendaraan adalah sarana beperjalanan.


Adapun kaitannya dengan ceritaku adalah bahwa pada satu kesempatan di tahun 2016--2017, ketika aku diberi pilihan oleh hidup untuk mempunyai rumah atau kendaraan, aku ternyata memilih kendaraan. Didorong oleh satu tujuan tertentu (buat dipakai Grabcar, tapi akhirnya enggak jadi) dan faktor paling besar lainnya, yaitu keinginan menjalani hidup yang lebih dinamis, aku memutuskan untuk membeli mobil saja ketimbang membeli rumah. Selain harga rumah itu lebih mahal yang tapi bisa saja diusahakan kalau memang niat punya rumah, aku lebih memilih membeli mobil daripada mengusahakan punya rumah (btw, kami bukan pengguna motor dan enggak berani mengendarai motor, jadi kendaraan bagi kami adalah mobil, kapal selam, atau bisa juga nanti mungkin pesawat jet--LOL). Di pikiranku saat itu, kendaraan atau mobil dapat memudahkan mobilisasi kami yang entah bagaimana, seperti sudah tereka dalam angan, bahwa kami akan diberikan banyak kesempatan melakukan perjalanan pada paket kehidupan kami di depan. Rasanya aku memang ingin menjajal banyak tempat tinggal sehingga mempunyai kendaraan akan memudahkan petualangan kami. Entahlah, kelihatannya aku sedang sangat kerasukan leluhurku si Homo Erectus dari zaman Paleolitikum yang hidupnya berpindah-pindah. Ditambah pula, aku baru diterima sebagai mahasiswa S2 dan akan menjalani cuti belajar selama dua tahun sehingga tidak bekerja ke kantor. Artinya, aku tidak terikat. Aku pun baru punya anak. Semangat berpetualangku tentu semakin menjadi-jadi, ingin mengajak anak jalan-jalan ke tempat-tempat baru. Walhasil, benar-benar terciptalah paket kehidupan nomaden kemudian. 


Pertanyaannya: kenapa aku tidak lebih suka rumah daripada kendaraan? Kenapa kendaraan mempunyai kedudukan yang lebih penting bagiku daripada rumah?


Jawabannya ada pada catatan pinggir Goenawan Mohammad berjudul "Kamar" (link tulisannya) yang ditulisnya pada tahun 2009 dan kutulis ulang di blog ini pada tahun 2011. Aku mendapati keterikatan jiwa dengan kata-kata yang ada pada catatan itu. Semua yang ditulis tentang rumah oleh Mohammad kuresapi dalam-dalam hingga yang tampak bagiku adalah hanya sebuah ruang transit di area bernama dunia. Kupikir, tidak akan lagi semudah itu menemukan rumah (home) yang memiliki pertautan dengan yang kosmis, tetapi di sisi lain, sekaligus pula kita bisa merasa betah (homey) di luar apa yang biasa disebut "rumah":

Ada ruang, sebagiannya tersembunyi dalam hati, yang tak hendak dan tak bisa diperjual-belikan: sebuah pojok taman, sebuah sudut kota yang menyimpan kenangan, sebuah pasar yang menambat hati, sebuah kedai, sebuah stasiun bus, sebuah tempat pertemuan… (Goenawan Mohammad, 2009).   

 

"Barangkali yang akan tetap akhirnya hanya nomor HP atau alamat e-mail," tulis Mohammad (sumber gambar).

Tentang pojok taman, sudut kota, sebuah pasar, kedai... pada berikutnya memang benar-benar menambat hatiku. Dengan kendaraan kami yang tua, tapi tangguh (Toyota Soluna juaranya mobil lawas--LOL), kami beperjalanan selama bertahun-tahun itu, transit dari satu tempat ke tempat lain, mencecerkan jejak hati kami. Kami menghargai betul keberadaannya karena sebagai kendaraan, ia benar-benar berfungsi dengan baik dan sangat berjasa. Karena itu, ketika pada akhir 2019 kami dengan terpaksa harus menjualnya, ada yang seperti hilang dari hati ini, mendadak sepi, tiba-tiba hampa (karena enggak bisa gampang jalan-jalan lagi, mana lagi hamil tua 😖). Untung yang membelinya orang baik, Pak Haji yang senang bercerita dan apa adanya.


Setelah itu, sejujurnya perjalanan ini menjadi tidak mudah. Aku dipaksa untuk merekonstruksi makna kendaraan, perjalanan, dan rumah lewat ketiadaan tersebut. Bagaimana pun, perjalanan masih terus berlanjut, dengan atau tanpa kendaraan, sehingga penting untuk kami saat itu menata kembali bentuk petualangan yang akan kami tempuh. Lambat laun, pikiran untuk sejenak menetap pun muncul. Dibarengi pula dengan kelahiran anak kedua, tentu tidak ada kendaraan (pribadi) membuat kehidupan seorang nomad menjadi lebih merepotkan. 


Seiring dengan tidak punya kendaraan lagi dan yang membuntuti menjadi dua anak manusia, kehidupan nomadik kami pun berakhir. Dalam pengertian, kami tidak berpindah-pindah tempat tinggal lagi dahulu dan lebih memikirkan hidup menetap. Sampai berapa lama? Kami tidak tahu, mungkin sampai anak-anak sudah lebih gedean dan kami membeli mobil Campervan buat kelilingan! 😄


Intinya, kesadaran terdalamku itu, sejak dahulu sudah mengatakan, hidup di dunia ini sejatinya adalah sebuah perjalanan. Kita tidak akan menetap sehingga tidak perlu melekat-lekatkan diri pada sesuatu. Kita toh lebih butuh "kendaraan" untuk membawa kita ke banyak cerita petualangan dan pengalaman hidup di dunia yang fana dan hanya sekali ini. Catatan pinggir Goenawan Mohamad juga kian menegaskan relevansi munculnya neo-nomadisme akibat sulitnya manusia sekarang menemukan dunung mereka dengan hakikat rumah yang sesungguhnya. Pada akhirnya nanti, kita mungkin akan meminta hal yang sama seperti si Ibu Dosen yang hendak melakukan Perjalanan menuju Rumah, "Bawakan aku kendaraan!"


Di situlah kiranya kisah nomadik kita akan benar-benar berakhir.


0 comments: