Sepotong Ingatan: Mudik

Aku selalu ingat meskipun sudah setua ini. Dahulu belum ada jalan tol yang panjang. Saat mudik kami masih harus melalui jalan Sumedang yang berkelok: Cadas Pangeran. Tak banyak pilihan. Sementara itu, malam di luar gerimis, jalan yang padat dengan kendaraan pun tampaknya licin. Aku tak mampu sering-sering menengok ke sebelahku. Hatiku hancur. Aku takut, sedih.

Mudik via Cadas Pangeran

Untungnya ada Chrisye yang memecah
sunyi. Dia bernyanyi asyik sekali, seolah keadaan baik-baik saja di antara ayah dan anak ini; seolah tak terjadi apa-apa dalam keluarga. Tapi, mungkin lebih baik begitu. Kalau Chrisye tahu, mungkin dia pun lebih memilih diam. Sepi, dan tentu itu tidak baik.

Ada lagu yang sedih, ada lagu yang gembira, ada lagu tentang anak SMA. Sepanjang perjalanan, Chrisye tak berhenti. Kadang aku sama sekali tak mendengarnya karena tertidur. Kadang aku pura-pura tidur sambil menghayati lagu Chrisye yang sedih. Ah, semua tentang yang sedih-sedih saja, karena memang begitulah hatiku sesungguhnya. Aku tak tahu bagaimana semua ini akan berakhir.

Siang harinya sebelum malam itu aku berangkat, aku berbincang dengan sahabat baikku di kampus, namanya Amel. Kuliah sudah usai, kami sedang iseng duduk di tepi Jalan Margonda, tepatnya di mulut Gang Kober yang menghubungkan jalan raya dengan kawasan kampus UI. Siang itu mendung, anginnya kencang. Aku cerita pada sahabatku itu, "Nanti malam gue mau mudik, tapi berangkat berdua doang sama Bokap. Nyokap sama adik gue belakangan, nanti mereka dijemput sama Om gue."

Aku lupa detail siang itu. Tapi, jika kugambarkan sekarang apa yang kuungkapkan kepada Amel, mungkin jadinya akan seperti ini:
Mudik kali ini beda banget, Mel, gak kaya mudik lebaran sebelum-sebelumnya. Bokap ama nyokap udah problem banget. Bokap ngajak mudik, tapi nyokap gak mau berangkat bareng bokap. Bokap udah sampe minjem mobil sodara buat kita mudik. Karena nyokap gak mau, jadi ya terpaksa deh, gue pulang bareng bokap. Nanti malem kita berangkat berdua doang. Kasihan sih, bokap. Tapi, ya gimana lagi. Sedih, sih gue. Tapi, apa boleh buat. Bokap ama nyokap kayanya udah gak bisa dipertahanin, deh. Lebaran kali ini gak enak banget (dan itu akan menjadi lebaran pertama dari lebaran-lebaran berikutnya yang benar-benar berubah).

Aku merasa siang itu Amel seperti malaikat di bulan Ramadan. Seharian itu di kampus dia menemani aku hingga kami berpisah setelah aku sempat berkeluh kesah kepadanya. Amel dengan baik mendengarkanku. Dia sahabat yang ditiup angin, dibawa gerimis, dan didudukkan di sebelahku yang termangu di tangga teras warnet depan Kober.

Aku selalu ingat meskipun sudah setua ini. Kami tiba menjelang sahur di rumah kakak sepupuku. Ayahku ikut turun dan mengantarku sampai ke rumah kakak iparnya.
"Nanti pas habis Salat Id Papah jemput ya, kita ke rumah Nenek."
"Iya, Pah," jawabku.

Ayahku ikut masuk ke dalam rumah itu walau cuma sebentar. Kakak ibuku menyapanya, memintanya sahur di situ, tapi ia menolak. Aku menghambur ke kamar sepupuku. Dia menyambutku dengan ramah. Sepupu-sepupuku ini adalah yang terbaik. Dia bangun dan tidak tidur lagi. Dia lalu bercerita tentang kehidupannya di sekolah, teman-temannya, pacarnya. Dia senang sekali bercerita. Aku senang sekali mendengarkannya. Kami bercerita sampai waktu sahur tiba, tertawa-tawa, seolah tak pernah terjadi apa-apa; seolah tak pernah terjadi apa-apa padaku.

*Sepotong ingatan adalah cerita tentang kenangan yang tiba-tiba mencuat ke permukaan. Kadang manusia begitu, bukan? Ketika sedang mencuci piring, dalam perjalanan kerja, atau buang air besar, mereka teringat pada sesuatu tentang kejadian di masa lalu.

0 comments: