Jalan


Sedang ramai diberitakan kisah pemudik yang hendak ke Solo berjalan kaki dari Cibubur hingga ke Batang sejauh 440 km. Ia adalah supir bus pariwisata yang terkena PHK di Jakarta. Menyadari bahwa tak akan bertahan hidup di ibukota di tengah pandemi, ia memutuskan pulang kampung saja. Sebelum akhirnya memilih jalan kaki, ia sudah pernah mencoba hendak pulang naik bus, tapi tidak jadi karena yang datang malah mobil travel dengan kapasitas yang penuh pula. Ia lalu menyewa mobil pribadi untuk mudik, tapi di Cikarang disuruh putar balik. Karena itu, pada akhirnya ia memutuskan pulang kampung dengan berjalan kaki. Tujuannya adalah Solo, tapi setibanya di Batang, ia diantar pulang oleh rekan sesama supir sampai kampung halamannya.

Kami sedang duduk di parkiran salah satu waterpark di Kota Depok. Sore menjelang magrib banyak orang duduk-duduk di situ juga. Tampak ketika ada yang datang, orang-orang ini menghampiri yang datang itu. Mereka lalu kembali dengan membawa sesuatu di tangan mereka. Oh, ternyata yang datang itu adalah para dermawan yang hendak membagikan takjil. Karena itu, orang-orang ini langsung menyerbu.

Aku menyeletuk ke suami, "Awalnya kita pikir dari tempat kita tinggal ke depan sini jauh banget, ya, kalau harus jalan kaki. Sekarang kita bisa bolak-balik ke sini jalan kaki hampir setiap hari. Jadi biasa, padahal jauh, tapi enggak kerasa."
"Ya, karena ada tujuan," jawab suamiku.

Kami ke daerah sini memang dengan tujuan. Di area waterpark ada ATM, inilah yang menjadi tujuan kami jalan kaki ke depan. Selain itu, sebelah waterpark adalah jejeran ruko yang salah satunya diisi minimarket, ini juga yang menjadi tujuan kami ke depan.

Mungkin kalian berpikir, seberapa jauh, sih, yang disebut "ke depan" itu dari tempat kami tinggal? Kok, berdasarkan cerita sepertinya jauh sekali. Lalu, memangnya tidak ada kendaraan, baik pribadi maupun umum?

Kalau ditanya seberapa jauh, itu termasuk sangat jauh jika harus ditempuh dengan jalan kaki, apalagi pulangnya dari depan menuju tempat kami tinggal jalan kaki juga. Jika dicari persamaannya, mungkin kira-kira seperti dari Gramedia Matraman ke RSCM. Itu masih mending karena jalannya lurus saja, sedangkan trayek yang biasa kami lalui itu tidak lurus saja begitu. Ada jalan berlubang-lubang, menanjak, menurun, beranekalah pokoknya.

Mengapa tidak naik kendaraan? Ya, karena memang tidak ada. Di situ tidak ada kendaraan umum selain kendaraan online. Sementara itu, ojek online tidak bisa menumpak manusia di masa PSBB ini. Kalau naik taksi online, ya, mahal di ongkos. Selain itu, kalau harus pakai kendaraan umum begitu, kan, ada biaya. Sayang juga kalau harus bayar untuk bolak-balik ke depan, mending buat jajan anak. Kendaraan pribadi? Wah, sayangnya kami sudah tidak punya lagi. Mobil tua kami dijual beberapa bulan lalu. Kalau motor, sih, dari dahulu juga memang tidak pernah punya, tidak ada yang bisa pakainya soalnya. Jadi, ya, kendaraan kami adalah diri kami sendiri. Kalau cuma sekadar ke ATM dan beli-beli apa di minimarket sih, ya, jalan kaki saja ke depan.

Untuk menyiasati agar tidak terlalu lelah, tidak terasa, dan sambil enjoy2 atau mungkin olahraga, kami sengaja memilih waktu tertentu untuk ke depan. Kalau tidak pagi hari sekali, ya, sore hari, apalagi di bulan puasa ini bisa sambil ngabuburit jalan-jalan sore. Masalahnya pula, kami jalan kaki ke depannya sekeluarga! Niat banget, ya? Jadi, harus benar-benar pilih waktu. Tapi, ya, memang dasarnya pada senang jalan dan ngebolang begitu, kami asyik saja. Si sulung itu kuat juga jalan kaki bolak-balik tidak digendong. Biasanya kalau bagian pulangnya, sih, dia sudah kecapekan banget. Tapi, siapa juga yang mau menggendong. Pertama, dia sudah berat banget. Kedua, ayahnya bawa bayi. Ketiga, aku sudah tidak kuat bawa yang berat-berat, apalagi jalan jauh begitu.

Aku kemudian cerita kepada suamiku soal pemudik itu dan mengaitkannya dengan kebiasaan kami akhir-akhir ini jalan kaki ke depan.
"Berarti karena ada tujuan, ya, pemudik itu rela berjalan kaki sejauh itu," kataku.
"Ya, iyalah, karena dia tahu, dia pasti sampai meskipun harus dengan berjalan kaki. Itu karena dia tahu tujuannya," kata suamiku.

"Aku membayangkannya dia enjoy saja jalan kaki, tidak masalah. Ya, mungkin masalah, sih, capek, kepanasan, dan sebagainya. Tapi, dia sampai juga, tuh, di kampung halamannya. Dia kelihatan pede dan rela saja memilih mudik dengan berjalan kaki," selorohku.
"Walau panjang dan lama, karena punya tujuan dan tahu apa tujuannya itu, orang pede dan rela saja menempuh perjalanan. Kebayang, kan, orang-orang yang enggak punya tujuan..." lanjut suamiku.
"Jalan saja terus tanpa tahu mau ke mana dan mau apa, padahal ternyata yang dia butuhkan dekat banget dari dia, tapi dia jalan berputar-putar kejauhan, saking karena enggak tahunya..." kataku seperti bicara pada diri sendiri.

Perbincangan yang absurd antara suami dan istri bersama sang buah hati yang belum mengerti apa-apa. Suami dan istri yang terus berjalan, dengan pede dan rela, di belantara kehidupan.

Sore depan waterpark dan perbincangan absurd


0 comments: