Padma


Aku sedang menyusui anak ketika tiba-tiba ingat Padma!

Bunga teratai? Ya, itu nama yang disematkan pada kelompok teater yang berasal dari sekolah menengah atas di Kota Bogor yang terletak di depan Hotel Pakuan ini. Para anggotanya adalah siswa-siswa sekolah tersebut. Jadi, ini merupakan kelompok ekstrakulikuler. Kebetulan sekolah menengah atas ini adalah almamaterku juga. Tapi, zamanku dulu belum ada ekstrakulikuler teater.

Awalnya aku dihubungi Is (dahulu vokalis Payung Teduh) yang memintaku menggantikannya mengajar teater di Padma. Ia undur diri karena sibuk dan Padma mulai tak kepegang. Aku sendiri baru tahu, ternyata selama ini Is mengajar teater di almamaterku, toh? Aku bahkan baru tahu sekolahku itu kini punya kelompok teater. Aku sendiri dan Is kebetulan teman sepermainan di kampus sastra, terutama karena kami sama-sama berteater di kelompok yang sama. Iseng baru lulus kuliah dan tidak banyak yang dikerjakan (maklum freelancer), kuambil tawaran itu. Kata Is, ada bayarannya, kok. Tapi, aku tak banyak memikirkan itu mengingat kelompok kesenian mah, apalagi teater di mana-mana sama: seadanya! Kata Is pula, mereka ini sedang akan menghadapi ujian praktik, yaitu membuat pertunjukan. Fokus aku adalah mengarahkan mereka untuk pertunjukan ujian praktik tersebut.

Singkat cerita, akhirnya aku mengajar Teater Padma. Aku bertemu dengan guru bahasa Indonesiaku dahulu yang hingga kini masih sama dan beliaulah yang bertanggung jawab terhadap Padma. Aku senang juga bertemu dengan adik-adik kelasku ini. Aku merasa seperti alumni yang berguna dan berjasa bagi kemajuan almamaternya dalam bidang teater (preeet).

Tapi, sebenarnya aku tidak lama mengajar di situ, hanya hitungan jari. Aku bahkan tidak sampai menyelesaikan pertunjukan mereka. Aku sendiri lupa pastinya dan berapa banyak dalam seminggu aku harus mengajar. Tapi, yang pasti, pada satu titik, aku pergi begitu saja meninggalkan Padma.

Pada praktiknya, di antara aku dan Padma tidak ada masalah. Aku sendiri senang berteater dan berlatih peran. Pengalamanku selama berteater di kampus aku terapkan betul dalam mengajar anak-anak Padma. Latihan fisik, pernapasan, artikulasi, sampai penghayatan peran, aku sampaikan dengan cukup baik kepada mereka. Mereka kelihatan cukup menikmati, aku pun demikian, hingga kemudian kami benar-benar harus menyiapkan skenario untuk pertunjukan ujian praktik nanti.

Sebetulnya mereka sudah punya skenario sendiri. Tapi, dengan mudahnya, tidak kuhiraukan. Aku pun sibuk membuat skenario untuk mereka hingga pada akhirnya, mereka akan bermain dengan skenarioku. Sejauh ini, semua tidak masalah. Mereka tetap mengikuti latihan dengan baik. Aku sendiri lupa skenarionya apa dan bagaimana, yang jelas, di tengah perjalanan, aku mendadak tak kembali ke sekolah itu, tanpa kabar dan konfirmasi apa pun. Hingga detik ini aku menulis, aku tidak tahu nasib mereka dengan skenarioku itu. Nasib pertunjukan untuk ujian praktik mereka yang kalau tidak salah waktu itu tinggal sebentar lagi, aku pun tak tahu...

Demi apa pun, ketika mengingatnya sekarang, rasanya aku ingin minta maaf kepada anak-anak Padma dan guru bahasa Indonesiaku. Aku sungguh-sungguh tidak tahu bagaimana nasib mereka setelah kutinggalkan. Aku telah menyia-nyiakan mereka dan tidak bertanggung jawab. Aku sendiri tidak tahu pasti mengapa tidak kembali lagi. Hanya saja, pada masa-masa itu, aku memang mempunyai kekacauan dalam berpikir (sekarang juga kadang masih, sih). Bukan sesuatu yang aneh jika aku bertindak agak radikal. Kalau boleh minta pemakluman, aku masih sangat muda pada saat itu. Jangankan memikirkan integritas dalam bekerja, bisa bertahan menjalani hidup seperti orang normal saja sudah bersyukur. Bagaimana tidak, banyak trauma baru saja terjadi sepanjang perjalanan ke belakang. Sulit untuk menjadi orang yang dianggap baik-baik saja. Masih baik dinilai aneh, bukan gila.

"Kak Is bilang, Kak Devi itu keren banget main teaternya. Sudah main sampai ke luar negeri. Eh, ternyata alumni sini. Aku enggak nyangka," itu kata seorang anak Padma di awal perkenalan kami.
Is berlebihan, deh. Oke, aku mungkin memang bermain cukup baik, tapi rasanya tak perlu memujiku seperti itu. Kenyataannya, seorang pemain yang baik belum tentu bisa menjadi sutradara yang baik. Pengalamanku berteater seharusnya cukup sampai perasaan bahagia yang membuncah ketika seorang penonton yang tak kukenal menghampiriku usai pentas di panggung GKJ pada suatu malam demi memuji permainanku dan mengucapkan selamat. Kenanganku dengan teater seharusnya tidak perlu dirusak oleh pengalaman tragis saat hendak menjadi sutradara.

Seharusnya Is ingat ketika menceritakanku seperti itu kepada anak-anak Padma bahwa aku baru saja gagal menjadi sutradara beberapa waktu lalu sebelum aku benar-benar meninggalkan teater di kampus. Latihan sudah berjalan lebih dari tiga bulan. Semua kru dan pemain sudah siap dan patuh. Musik sudah diciptakan oleh seniorku yang waktu itu sudah mulai melebar sayapnya sebagai musisi terkenal. Kebutuhan latar sudah dibuat dari kayu-kayu, bambu, dan sebagainya. Tapi, tiba-tiba, di tengah perjalanan, aku mengalami perasaan yang tampaknya menjadi cikal bakal dari semua perilaku hit and run aku dalam pekerjaan, seperti meninggalkan Padma tiba-tiba dan lain-lain: terjadi kekacauan berpikir, blank, eror. Pada akhirnya, proses itu pun berakhir tanpa pertunjukan. Setelah lebih dari tiga bulan latihan dengan persiapan yang sudah mencapai 70%, kutinggalkan semua pemain dan kru ketika itu tanpa konfirmasi apa pun selain, "Gue enggak bisa."

Penting untuk menyadari kemampuan, seorang pemain hanyalah seorang pemain, tak bisa lebih.

Zaman mau pentas di Bali

*Sepotong ingatan adalah cerita tentang kenangan yang tiba-tiba mencuat ke permukaan. Kadang manusia begitu, bukan? Ketika sedang mencuci piring, dalam perjalanan kerja, atau buang air besar, mereka teringat pada sesuatu tentang kejadian di masa lalu.

0 comments: