Pulang Kampung dalam Film

Setidaknya ada tiga film tentang "pulang kampung" yang sangat menyentuh perasaanku: Garden State (2004), This is Where I Leave You (2014), dan The Judge (2014). Ide tentang pulang kampung sendiri terasa menggetarkan ketika tercetus di kepala. Bagiku, pulang kampung artinya begitu dalam meskipun secara de facto aku tidak menjalani kehidupan di kampung halamanku, tapi justru karena terlahir di tempat itu, jadi ari-ariku yang terkubur di sana selalu membawaku pulang. Hehehe.

Perasaan mendalam dalam konsep "pulang kampung" itu tampaknya dipahami betul oleh para sutradara barat. Buktinya, ketiga film dari sekian banyak film tentang going home di atas berhasil menunjukkan bahwa secara universal manusia sering kali hidup dalam dualisme, yakni seseorang di luar (baca: kota) dan seseorang di dalam (baca: kampung halaman [home]). Kesadaran memainkan peran yang tampaknya bertentangan tersebut biasanya disadari ketika para "perantau" ini kembali ke rumah keluarga (orang tua) mereka di sebuah desa yang sejuk, damai, dan jauh dari hiruk pikuk--sebuah tempat hidup di masa kecil. Ketika kesadaran itu muncul, di situlah konflik terjadi. Apa? Betapa mereka sebenarnya begitu rapuh menghadapi dunia yang perkasa ini yang sekaligus rapuh juga. Kepulangan kerap mempertemukan mereka dengan kerinduan, kesedihan, kenangan-kenangan, dan pengalaman masa lalu yang seringnya belum terselesaikan. Semua itu tak terhindarkan dan membawa kontemplasi tersendiri. Beberapa orang akhirnya harus tinggal lebih lama di rumah mereka untuk melakukan beberapa penyelesaian. Setelah itu, mereka bisa kembali melanjutkan hidup: pergi lagi atau tetap tinggal--hanya itu pilihannya.

Aku terharu dengan konsep kehidupan manusia secara menyeluruh. Ternyata, bahkan mungkin lebih-lebih di luar sana, pada waktunya setiap anak akan pergi meninggalkan (rumah) orang tua mereka dan hidup terpisah. Merantau bukan cuma kebiasaan yang terjadi di negeri ini, di barat sana juga tampaknya sama. Setiap orang pergi ke kota yang lebih besar untuk menjalani hidup dan memperoleh penghidupan. Ada yang jarang pulang. Ada yang sok kuat. Ada yang kembali dengan membawa sejuta cerita kegagalan yang bahkan tak pernah keluar dari mulutnya sendiri. Ada yang tersesat. Ada yang sukses dan kesepian. Ada yang pura-pura bahagia.

Apakah ada yang nyata?

Potret kesemuan dunia ini tertangkap jelas dari setidaknya ketiga film tersebut. Jelas, tidak ada yang nyata. Semua hanya tentang peran-peran yang harus dijalani. Kelelahan sudah pasti. Karena itu, kematian, reuni, atau yang identik di negeri ini, yaitu tradisi mudik lebaran, menjadi suatu konflik tersendiri bagi sebagian jiwa manusia. Di satu sisi, ada kemapanan yang berdiri di atas pondasi yang kurang kuat yang mati-matian hendak dipertahankan dan tidak boleh diganggu oleh apa pun. Di sisi lain, ada kerinduan untuk melepas semuanya yang melekat dalam tubuh dan jiwa, hanya mendapati seonggok kesadaran yang tidak berarti, tidak bermakna, dan selalu ingin apa adanya. Nah, masalahnya, kepulangan selalu berhasil menyeret setiap orang kepada wajah asli yang bahkan membuat diri mereka sendiri takjub mendapati wajah asli mereka. Beberapa tidak sanggup menghadapi kenyataan itu bahwa tidak ada yang TIDAK SEMU di dunia ini.

Alur kehidupan secara keseluruhan sedang berubah secara cukup radikal hingga pertengahan tahun ini. Beberapa menjalaninya dengan mudah-mudah saja, tapi beberapa yang lain secara mati-matian ingin memahami betul apa yang sebenarnya hendak terjadi. Dalam upaya pemahaman itu, mereka menonton film, membaca cerita, menulis, meminum teh hangat, dan merenung. Aku sendiri lebih memilih berhubungan dengan ibuku dan adikku di kampung yang terletak di kaki Gunung Ciremai sana dengan lebih intens. Hal itu membuat hatiku terasa lebih damai. Setidaknya, aku punya tujuan pulang jika kehidupan secara mikro dan makro menjadi semakin tak terkendali di kota sini. Sungguh, aku tak pernah punya rencana punya pekerjaan di ibukota--hal yang sebenarnya sangat aku hindari. Tapi, kau tahu, menghindari sesuatu mati-matian malah semakin membuatmu mendekat pada sesuatu itu. Huhuhu.

Btw, jangan lupa tonton ketiga film yang kusebutkan tadi itu, ya! Serius, itu cukup membantu mengisi kekosongan dan kehampaan dalam dimensi ruang dan waktu yang semu ini.   

0 comments: