Si PK (2014) lagi booming diperbincangkan, tuh. Itu, film
India besutan sutradara Rajkumar Hirani yang pernah bikin film bernuansa komedi
satir yang sarat kritik sosial juga, 3
Idiots (2009). Kalau film yang kemarin temanya mengkritik sistem
pendidikan, kali ini film PK hadir
untuk “mengganggu” kemapanan berpikir kebanyakan manusia soal agama dan
ketuhanan. Filosofis banget, sih. Tapi, untuk sebagian orang yang sudah
terbiasa dengan isu liberalisme dan pluralisme, bahkan mungkin telah
meninggalkannya karena sudah tidak ambil pusing atau mungkin “tercerahkan”,
film ini terasa menghadirkan ide yang usang saja. Meskipun begitu, tampaknya
oleh sebagian lainnya, ide dalam film ini tetap asyik untuk digali. Konon saya
dengar, bahkan sampai ada yang mau bikin bedah filmnya.
Si PK |
PK itu adalah julukan yang kemudian diberikan kepada sesosok
alien berbentuk manusia (diperankan oleh Aamir Khan). Ia turun ke bumi untuk
melakukan sebuah misi, namun ia kehilangan remote
untuk ia dapat kembali ke planetnya di angkasa. Remote itu diambil oleh seorang pencuri. Perjalanan ia mencari remote yang hilang itu membawa dirinya
kepada petualangan demi petualangan dalam dunia manusia di bumi. Itu
memberikannya banyak sekali pelajaran dan pemahaman tentang kehidupan, manusia,
pencipta alam raya, dan lain-lain. Berbagai kritik disampaikan sang sutradara
film ini dalam perjalanan PK menemukan remote
control-nya.
Ada tawa, sedih, marah, gelisah, PK mengajak kita sebagai penonton mengikuti perjalanannya dengan
santai dan mengalir. Film berdurasi hampir tiga jam ini pun, sebagaimana
film-film India pada umumnya, tidak terasa lama karena film ini mampu membuat
kita menikmati alur cerita yang disuguhkan dan pesan-pesan yang dibawanya. Selain
karena lucu dan kita dibuat terpingkal-pingkal oleh tingkah alien tampan yang
polos dan lugu ini, kita juga diajak untuk setidaknya berpikir dan melihat
kenyataan yang sebenarnya. Agama telah menjadi komoditas. Tuhan diperdagangkan,
keyakinan diperdebatkan. Tapi, ya, di situlah justru masalahnya: semua itu
nyata!
Berani Bersuara Lewat
Film
Bagi saya, menariknya film PK ini bukan datang dari ide yang disuguhkan untuk pada akhirnya
sama-sama direnungkan apalagi syukur-syukur bisa membawa pencerahan, melainkan
dari keberanian sang sutradara mengungkap fakta ini melalui film garapannya. Ia
telah menciptakan semacam revolusi berpikir bagi manusia dalam hal beragama dan
berketuhanan di tengah-tengah masyarakat yang katakanlah religiositas dan
spiritualismenya tinggi. India telah dikenal dunia sejak berabad-abad silam
sebagai pusat spiritual Timur. Ia merupakan destinasi bagi para pencari
kedamaian, ketenteraman batin, dan pengalaman rohani, terutama seperti yang dilakukan oleh masyarakat
modern saat ini, termasuk pula orang-orang Barat. Tercatat berbagai film Barat bertemakan
pencarian spiritual ke tanah India telah dibuat, seperti Eat, Pray, Love (2010) dan The
Darjeeling Limited (2007). Keberanian sang sutradara menggarap film PK bagaikan ikan salmon yang berenang
melawan arus. Sementara orang-orang Barat itu bekiblat ke tanah India untuk
belajar spiritual, di negerinya sendiri spiritualisme telah kehilangan maknanya
oleh berbagai hal, salah satunya adalah faktor ekonomi.
“Kegilaan” di balik praktik ritual agama di kuil sebagaimana
yang diceritakan dalam film PK
sebenarnya persis seperti yang pernah cukup menggemparkan juga di negeri kita
ini. Pernah ada ketika itu sebuah ajakan sedekah sebesar nominal tertentu untuk
kemudian nantinya ditukarkan dengan doa yang akan dibacakan saat umrah oleh
pemuka agamanya. Sebagian atau bahkan banyak orang mungkin tidak merasa itu
aneh dan ikut “tergoda” dengan ajakan tersebut, sama seperti jemaah yang tetap
banyak berdoa di kuil-kuil di India. Namun, bagi sebagian yang lain, itu adalah
sesuatu yang tidak dapat masuk ke dalam nalar mereka. Siapa yang benar? Siapa
yang salah? Saya tidak sedang menilai. Tanyakan saja sana sama Pilatus.
Keterbukaan berpikir dan keberanian sang sutradara mengungkapkannya
ke publik lewat karya seni (film) dalam hal ini patut diacungi jempol. Saya
langsung membayangkan, kira-kira siapa sutradara di Indonesia yang berani
menggarap film dengan cerita “sedekah barter” seperti fenomena yang terjadi di
atas? Yang berpikir kritis dan terbuka saya yakin pasti banyak, namun yang
berani menyuarakannya ke dalam film seperti sutradara ini, ada atau tidak, ya?
PK, Mr. Bean,
Kabayan, Nasrudin Hoja, dkk.
Film PK bisa
dikatakan sebagai sebuah karya dari seni mengkritik. Bagaimana tidak, kalau
sekadar ingin berdebat, berontak, beradu argumen tentang agama sih, tinggal
gabung saja di grup media sosial yang banyak betebaran khusus dibuat untuk
memperdebatkan si kusir yang tak ada habisnya. Tapi, orang yang punya cita rasa
seni, tidak akan melakukan itu. Cuma cuap-cuap, marah-marah, terus sudah, apa hasilnya?
Mengkritik pun ada seninya. Berbagai genre dalam seni menyediakan ruang untuk
orang-orang yang berkarya menuangkan gagasannya, termasuk kritik terhadap
sesuatu.
Seni ada bukan sekadar untuk keindahan, ia juga bisa menjadi
sebuah alat kontrol. Kritik yang disampaikan melalui seni telah ada sejak zaman
buhunnya, tidak baru sekarang-sekarang ini. Kehadirannya bisa macam-macam,
dalam bentuk sastra, teater, musik, film, dan lain-lain. Sebagai contoh karya
seni yang mengandung unsur kritik namun dikemas dengan gaya humor yang ada
sejak zaman dahulu adalah cerita-cerita si Kabayan. Berbagai penelitian
menyebutkan bahwa tokoh si Kabayan “sengaja” diciptakan untuk menyampaikan
sebuah pesan dan nilai hidup kepada masyarakat (pada saat itu masyarakat
Sunda). Menurut buku yang saya baca, sezaman dengan si Kabayan, di berbagai
daerah di Nusantara juga muncul tokoh-tokoh berkarakter sama dalam cerita
rakyat mereka. Sebut saja, Lebai Malang dan Pak Belalang dari Melayu, Modin
Karok dari Madura, Pan Belog dari Bali, Pak Banjir dari Jawa Tengah, dan
sebagainya. Bukan hanya di Nusantara, tokoh serupa pun ada di negara lain di
dunia, seperti Jerman, Timur Tengah dengan Abu Nawas dan Nasrudin Hoja,
termasuk pula India bernama Brahmana Harisarman.
Karakter tokoh yang dimaksud di sini adalah orang-orang
bodoh yang lugu dan polos, namun mampu bersikap di luar perkiraan kita. Mereka
tampak bodoh, tapi sebenarnya cerdik. Mereka hadir dalam cerita-cerita humor
yang di dalamnya mengandung pesan-pesan tertentu. Orang menyebutnya komedi
satir. Tak ada yang dapat atau bahkan boleh marah dengan kritik yang
disampaikan dengan cara begitu. Inilah seninya. Kita seperti tertawa, padahal
sedang diajak berpikir dalam ketertawaan itu, menyindir sesuatu. Begitulah
memang, kadang humor bisa menyimpan makna yang lebih sadis ketimbang thriller.
Di masa kekinian, konsep semacam itu hadir dalam tokoh audiovisual
yang terkenal, yaitu Mr. Bean. Ia juga makhluk dari planet lain. Tingkahnya
yang konyol dan tak keruan sangat mengundang tawa. Konon, tokoh Mr. Bean
diciptakan sebagai bentuk kritik atas kekakuan yang terjadi di lingkungan
masyarakat Inggris pada umumnya, barangkali akibat pengaruh besar istana. Kehadiran
Mr. Bean seakan hendak memecah semua itu, menentang segala praktik yang menekan dan
menghambat keleluasaan seseorang pada masa tersebut.
Tak jauh dari para pendahulunya, tokoh PK diciptakan untuk
semangat yang sama: sebuah pemberontakan, alat kritik, penyampai pesan.
Karakter stereotipnya harus tetap ada, yaitu bodoh, lugu, dan kalau bisa berasal
dari negeri antah-berantah. Ketika semua orang mulai mengecilkan mereka akibat
tingkah mereka yang konyol dan kadang menjengkelkan, di situlah mereka kemudian
beraksi menjalankan peran sebagai “si pembawa pesan”. Semua orang yang
mengecilkan mereka pun pada akhirnya tersadar, persis seperti akhir cerita dalam film
PK.
*
Kira-kira inilah sedikit kesan dan ulasan yang bisa saya
ungkapkan usai menonton film PK
sekitar sebulan yang lalu. Terlepas dari apakah gagasan dalam film tersebut
benar-benar mengganggu kemapanan beragama seseorang hingga menimbulkan
kontroversi atau bahkan tidak berpengaruh sama sekali, saya hanya melihat ini
sebagai keberanian sutradaranya mengungkap fakta atas praktik beragama di
tengah-tengah kita dari kacamata “orang bodoh”. Tak ada yang dapat atau bahkan
boleh marah pada orang bodoh. Namanya juga orang bodoh. Kalau Anda marah dan
terpancing, apalah bedanya Anda dari mereka?
Mungkin memang tengah terjadi revolusi berpikir besar-besaran
di kehidupan kita dewasa ini atas segala aspek. Tak perlu gelisah, apalagi
marah. Terima saja, dan bersikaplah terbuka. Setelah itu, putar film PK dan terbahak-bahaklah sampai perut kram
dan keluar air mata. Saya melakukannya!
Selamat tertawa... :D
0 comments:
Posting Komentar