Sepotong Ingatan: Menghadiri Pesta Pernikahan

Hari itu seharusnya aku menghadiri acara midodareni sepupuku. Kebaya seragam telah dibuatkan. Warna biru muda, cantik, pas sekali jahitannya di badan. Aku baru saja selesai mengajar teater di sebuah sekolah menengah di Bogor ketika handphone-ku berdering. Itu dari ibunya sang mempelai laki-laki, kakaknya ayahku, aku menyebutnya uwa karena aku orang Sunda, tapi tak kuangkat teleponnya. Berkali-kali, kubiarkan saja. Aku tak hendak mengangkatnya karena aku tak hendak datang ke acara midodareni itu.

Aku mengajak salah satu teman baikku di kampus, perempuan bernama Liesta, untuk menemaniku ke acara resepsi pernikahan mereka pada akhir pekannya. Selain karena tak tahu jalan-jalan di Jakarta, aku juga merasa lebih nyaman datang bersama teman dibandingkan dengan pacar atau bahkan dengan keluargaku sendiri. Ya, meskipun secara hierarki kami termasuk keluarga dekat, tapi karena mama dan papaku sudah bercerai, hubungan di antara dua keluarga ini menjadi agak semakin kaku. Mama tentu tak (mau) datang, entah dengan papaku, aku tak tahu kabarnya. Tapi aku, tentu aku merasa harus datang. Alasannya lebih karena tidak enak. Pertama, aku anak sulung, aku merasa harus bisa tampil sebagai wakil dari keluarga ayahku di hadapan keluarga besarnya--semata demi keluarga. Kedua, aku sudah dibuatkan seragam dan diajak untuk menjadi bagian dari kebahagiaan mereka mengingat kami keluarga. Jadi, aku merasa harus menghargai itu. Ya, secara formalnya memang begitu. Tapi, aku, kok, merasa hadir di acara mereka saat itu menjadi beban tersendiri, ya? Ah, seperti acara midodareni, sesungguhnya aku pun enggan datang ke acara resepsi pernikahan.

Singkat cerita, Liesta mau menemani, tapi dia juga minta aku untuk menemaninya ke acara undangan pernikahan yang akan dihadirinya di hari yang sama. Impas kalau begitu. Tak masalah, lagi pula aku kenal dengan orang yang mengundang Liesta meskipun tidak dekat. Kami kemudian berangkat pagi-pagi. Tujuan pertama kami adalah ke undangan sepupuku.

Aku lupa lokasinya di mana, yang jelas, pesta pernikahan itu dilangsungkan di areal yang mewah. Untuk tiba ke sana saja kami harus menumpak taksi, tak tahu apakah ada kendaraan umum seperti angkot yang bisa melewati daerah itu. Gedung resepsinya megah. Mobil yang terparkir di halamannya banyak, maklum anak pejabat. Keluarga masing-masing mempelai orang berada. Bayangkan sendiri pesta pernikahan beradat Jawa itu seperti apa, pada umumnya pesta-pesta pernikahan anak orang kayalah.

Di sana, aku bertemu saudara-saudara dari ayahku yang lain. Aku agak canggung, tapi si Liesta terlihat enjoy saja menikmati hidangan yang tersedia. Aku tidak tahu harus memposisikan diri seperti apa saat itu, apakah sebagai keluarga atau tamu undangan seperti yang lainnya. Aku benar-benar merasa tidak nyaman.

Aku bersalaman dengan mempelai di pelaminan. Senyum mereka datar, sangsi apakah si ratu dan raja sehari itu mengenalku. Aku bertemu uwaku. Syukurlah ternyata mereka masih kenal aku (hiperbolis). Mereka bertanya ke mana aku kemarin, mengapa tidak datang ke acara midodareni, mama dan adikku mana--tapi tentu mereka tidak menanyakan ayahku. Aku jawab saja seadanya. Setelah itu, aku ikut-ikutan bersama Liesta saja menikmati hidangan. Lalu, orang tua temanku yang bertetangga dengan uwaku ini di sebuah perumahan elit di Kota Bogor menjumpaiku, padahal aku tidak berharap bertemu mereka, dan mengenalkanku pada orang-orang yang tak kukenal di sana yang mungkin tetangganya dengan berkata, "Ini keponakannya Bu ini, loh (menyebut nama uwaku)." Aku senyum basa-basi, dalam hati, "So what?"

Usai dari acara itu, tujuan kami berikutnya adalah ke acara undangan temannya Liesta. Kami tak perlu naik taksi ke sini, angkot saja, dan berhenti di sebuah gang. Kami harus jalan masuk dulu ke gang itu untuk tiba di rumah yang hajatan. Musik dangdut dari pengeras suara sudah terdengar dari muka jalan. Ada suara orang yang sedang berkaraoke juga, terbayang sudah suasananya seperti apa. Begitu tiba, kami disambut oleh suasana pernikahan yang sederhana sekali, tapi orang-orang di sana menyambut kami, kebetulan aku juga kenal dengan beberapa tamu yang hadir di situ. Udaranya begitu panas, aku kegerahan dan selalu kipas-kipas. Tapi, aku tidak canggung di situ. Aku mengobrol dengan beberapa kenalan. Kami berbincang-bincang, lalu tertawa-tawa cuek.

Dua pesta pernikahan yang kuhadiri hari itu berbeda sekali suasananya, sangat kontras. Satu di gedung mewah bernuansa dingin dan elegan, satu di rumah sederhana dengan situasi apa adanya dan panas yang menyerang. Aku jadi teringat pada pernikahanku sendiri, tak ada pesta, hanya dihadiri oleh keluarga yang itu pun sudah banyak sekali. Uwaku datang, tapi sepupuku itu tidak sebab ketika aku menikah dia sudah meninggal sekitar tiga tahun silam.

Iya, sekitar tiga atau empat tahun setelah dia menikah, tepatnya 2010, sepupuku, si pengantin laki-laki di pesta pernikahan mewah itu meninggal dunia karena sakit. Dia meninggalkan seorang istri dan putri batitanya yang cantik-cantik. Aku, mama, dan adikku menjenguk almarhum di rumah sakit pada siang hari ketika menjelang malamnya dia meninggal dunia. Esoknya kami pergi ke rumah duka. Di situ aku melihat ayahku ada. Dia menjadi salah satu orang yang menggotong jenazah sepupuku saat akan dimakamkan.

Ah, kehidupan.



*Sepotong ingatan adalah cerita tentang kenangan yang tiba-tiba mencuat ke permukaan. Kadang manusia begitu, bukan? Ketika sedang mencuci piring, dalam perjalanan kerja, atau buang air besar, mereka teringat pada sesuatu tentang kejadian di masa lalu.

0 comments: