Film animasi
ini keren, bukan secara visualnya saja, jalan ceritanya pun bagus. Ada “pesan
moral” (sebenernya saya gak terlalu suka frasa ini, tapi apa boleh buat) yang
bisa diambil dari film tersebut. Mengajarkan kita sesuatu tentang hidup, sesuai
judulnya: The Book of Life. Cocok untuk ditonton anak-anak menjelang remaja maupun manusia
berusia hampir kepala tiga seperti saya—atau mungkin lebih? Well, gak pernah ada batas usia bagi nilai-nilai
luhur dalam sebuah cerita untuk dipahami manusia. Itu bisa untuk siapa saja,
tak terbatas, tergantung bagaimana manusia tersebut menanggapinya.
The Book of Life: Tulis Ceritamu Sendiri!
The Book of Life. |
Pemandu
museum bernama Mary Beth membawa sekelompok anak nakal pada sebuah tur museum
dan menceritakan kepada mereka cerita rakyat Mexico yang sangat terkenal. Ia
bercerita tentang kisah Kota San Angel dari sebuah buku bernama The Book of Life. Anak-anak mendengarnya
dengan saksama.
La Muerte,
seorang perempuan yang terbuat dari permen-permen yang manis adalah penguasa
Tanah yang Diingat, sebuah tempat yang meriah dan ajaib bagi memori orang-orang
yang dicintai. Adapun Xibalba, seorang laki-laki yang jahat dan terbuat dari
kotoran adalah penguasa Tanah yang Terlupakan, sebuah tempat bagi jiwa-jiwa
yang rapuh. La Muerte dan Xibalba bertaruh saat melihat dua anak laki-laki yang
jatuh cinta pada seorang perempuan yang sama di hari Festival Kematian. La
Muerte memenangkan Manolo untuk kelak dinikahi oleh Maria, nama perempuan itu.
Adapun Xibalba memenangkan Joaquin. Jika La Muerte menang, Xibalba akan selamanya
berhenti mengganggu La Muerte. Namun, jika ia kalah, Xibalba akan menguasai
Tanah Yang Diingat.
Suatu hari,
akibat insiden membebaskan babi-babi yang akan disembelih, Maria kemudian
dikirim oleh ayahnya untuk sekolah ke Spanyol. Bertahun-tahun lamanya Maria
berpisah dengan dua anak laki-laki tersebut. Manolo sendiri yang berasal dari
keluarga matador ternama, dididik oleh sang Ayah untuk bisa meneruskan nama
baik keluarganya, menjadi matador hebat. Meskipun memiliki kemampuan alami
sebagai seorang matador, Manolo tidak ingin melakukannya. Ia lebih suka bermain
gitar dan ingin menjadi musisi. Sementara itu, Joaquin menjadi seorang pahlawan
kota yang disegani dan tak terkalahkan. Ini disebabkan Medali Kehidupan Abadi
yang diberikan oleh Xibalba sewaktu kecil kepadanya. Medali tersebut membuat
siapa pun yang memakainya tidak bisa mati.
Kepelikan
terjadi ketika Maria kembali ke Kota San Angel sepulang belajar dari Spanyol.
Dua laki-laki ini, Manolo dan Joaquin, dengan cara masing-masing berusaha
merebut hati Maria. Sejujurnya, Maria sendiri lebih suka kepada Manolo yang
lembut dan berhati baik. Meskipun Joaquin itu gagah dan heroik, namun Maria
lebih suka kepada seseorang yang tulus dan bersikap jujur dari hati. Maria
lebih tersentuh mendengarkan nyanyian dengan iringan gitar Manolo dibandingkan
kekuatan fisik dan cincin yang diberikan oleh Joaquin. Melihat tampaknya lelaki
yang dijagokannya akan kalah, Xibalba kemudian melakukan kecurangan. Saat
Manolo mengajak Maria untuk bertemu di sebuah tempat, tongkat Xibalba yang
diubah menjadi ular, mematuk Maria hingga mati. Manolo juga dipatuk ular itu
hingga mati dengan dalih agar Manolo bisa bersama-sama dengan Maria di alam
kematian. Padahal, Maria tidak jadi mati sebab ciuman Joaquin yang memakai
Medali Kehidupan Abadi mampu menghidupkan kembali Maria. Alhasil, Maria dan
Joaquin pun akan menikah. Tujuan pernikahan ini semata agar Kota San Angel
memiliki pahlawan yang bisa melindungi jika bandit Chakal menyerang. Joaquin
akan menetap di kota jika menikah dengan Maria.
Setelah
mati, Manolo tiba di Tanah yang Diingat. Ia bertemu dengan keluarganya yang
telah meninggal: ibunya, kakeknya, leluhurnya. Ia melakukan perjalanan di sana
untuk mencari Maria. Ia diantarkan oleh keluarganya kepada penguasa Tanah yang
Diingat, La Muerte. Tapi, begitu tiba di istana, yang ditemukannya bukanlah La
Muerte, melainkan Xibalba. Itu artinya, La Muerte telah kalah dalam taruhan
ini. Ia diungsikan ke Tanah yang Dilupakan, sementara Xibalba kini menjadi
penguasa Tanah yang Diingat. Di sinilah Xibalba kemudian mengungkapkan
kecurangannya. Manolo tidak terima. Ia menantang Xibalba. Ia harus bertemu
dengan La Muerte di Tanah yang Dilupakan.
Manolo
ditemani ibu dan kakeknya kemudian melakukan perjalanan menuju Tanah yang
Dilupakan. Itu merupakan perjalanan yang berat dan penuh dengan rintangan.
Namun, dengan keteguhan dan kesucian hatinya, Manolo mampu melewati itu. Mereka
kemudian bertemu dengan si Pembuat Lilin, lelaki tua berjanggut putih yang
bertugas menyeimbangkan kehidupan. Mereka memasuki Gua Jiwa dan lelaki itu
menunjukkan Buku Kehidupan, The Book of
Life. Semua jalan hidup manusia sudah tertulis di buku itu. Tapi, tidak
dengan jalan hidup Manolo. Pada bagiannya, halaman buku itu kosong. Si Pembuat
Lilin mengatakan bahwa Manolo bisa menuliskan jalan ceritanya sendiri.
Di alam
kehidupan, bandit Chakal dan pasukannya menyerang Kota San Angel. Chakal
bermaksud untuk mengambil Medali Kehidupan Abadi yang tersemat di baju Joaquin.
Pada saat yang sama, Joaquin dan Maria hampir saja melakukan ikrar pernikahan,
tapi tertunda akibat penyerangan tersebut. Sementara itu, Manolo mendapatkan
kesempatan untuk hidup kembali setelah memenangkan tantangan yang dibuat oleh
Xibalba, yaitu mengalahkan banteng yang sangat besar. Manolo tidak membunuh
banteng itu, sebaliknya, ia justru minta maaf atas kejahatan-kejahatan yang
telah dilakukan terhadap banteng dalam permainan matador. Dengan sendirinya,
banteng yang marah itu pun kalah, luluh. Xibalba pun menjadi sadar. Pada
akhirnya, bandit Chakal berhasil dikalahkan oleh perjuangan yang dilakukan Joaquin,
warga Kota San Angel, serta Manolo dengan bantuan para penghuni Tanah yang
Diingat. Kota San Angel selamat. Maria dan Manolo kemudian menikah.
Mary Beth
pemandu museum itu menutup ceritanya. Anak-anak naik ke dalam bus untuk pulang.
Mereka mengucapkan selamat tinggal dan Mary Beth pun berubah menjadi seorang
perempuan yang terbuat dari permen-permen manis. “La Muerte!” teriak seorang
anak. Benar, pemandu itu ternyata adalah jelmaan La Muerte. Ada seorang penjaga
museum di sana yang juga adalah jelmaan Xibalba.
“Setiap
orang akan mati. Anak-anak ini akan mempunyai keberanian untuk hidup,” kata La
Muerte. Si Pembuat Lilin mengakhiri film tersebut dengan menutup The Book of Life seraya berkata, “Hei,
write your own story!”
Animasi dan Nilai-nilai Kehidupan
Sudah bukan “barang
baru” jika film animasi dibuat dengan muatan-muatan tertentu. Kerap ada
nilai-nilai kehidupan yang hendak disampaikan melalui film animasi. Sebut saja,
Up (2009), Epic (2013), Ratatouille (2007), Ice Age (2002), How to Train
Your Dragon (2010), atau juga film bercampur animasi 3D, Avatar (2009). Bukan cuma menunjukkan
kehebatan dan kecantikan animasi 3D-nya, film-film tersebut juga digarap dengan
ide cerita yang apik dan sarat pembelajaran. Mulai dari kesetiaan, keberanian,
pantang menyerah, menjadi diri sendiri, rela berkorban, sampai cinta
lingkungan, semua bisa kita dapatkan dalam film animasi.
Pertanyaannya
sekarang, kenapa animasi?
Banyak film
kartun dari luar sana yang dibuat dengan sungguh-sungguh. Ini terlihat dari
animasinya yang bagus, jalan ceritanya yang menarik (hingga penonton bisa
mendapatkan pelajaran dari situ), sampai film
scoring-nya yang cantik dan enak didengar. Terlihat sekali bahwa untuk “sekadar”
film animasi, para kreatifnya bekerja dengan sangat maksimal. Padahal, mungkin
sebenarnya, justru karena ini film animasi, orang-orang bisa berkreasi tanpa
batas dalam menyampaikan sesuatu, semacam konsep atau idealisme yang mungkin
tidak seleluasa jika itu disampaikan lewat film biasa. Malahan, melalui animasi
pula, orang-orang bisa bermetafora, menciptakan keindahan, menghidupkan
hewan-hewan, dan sebagainya. Film animasi mampu menampung imajinasi seliar apa
pun yang bisa dipikirkan oleh manusia. Itu sebabnya, film-film animasi kerap
bagus dan sarat dengan nilai-nilai kehidupan. Film animasi tak lagi ditujukan
hanya untuk penonton anak-anak, orang dewasa juga bisa menikmatinya dan memetik
pelajaran dari situ.
Dalam film The Book of Life ini, pelajaran yang
bisa diambil adalah jangan takut untuk menjadi diri sendiri. Lakukan apa yang
baik menurut hati kita, dan jadilah sesuatu. Ini hidup kita. Ibarat diberi
sebuah buku kosong, kita boleh menuliskan apa saja ke dalam buku itu. Kita
boleh menggambar, mewarnai, corat-coret, atau bahkan merobeknya. Sangat cocok
untuk ditonton anak-anak menjelang remaja atau yang sedang asyik menata masa depannya:
mau jadi apa aku jika besar nanti? Kalau untuk penonton usia nyaris kepala tiga
seperti saya, sih, mungkin menjadi lebih percaya saja setelah menonton film
ini. Bahwa konsep semacam itu benar diakui dan kini bahkan mulai diajarkan
kepada generasi-generasi baru. Jadilah sesuatu, jangan takut untuk jujur dan
menjadi diri sendiri, senantiasa mengikuti kata hati. Kebaikan dan kelembutan
jiwa, bagaimana pun, akan jadi pemenangnya.
Oya, satu
lagi pesan yang disampaikan dalam film ini: permainan matador adalah sebuah
kejahatan terhadap hewan. Stop membunuh banteng!
Well, selamat menonton, ya. Selesai
menonton, ambil buku kosong, lalu catat resolusimu di penghujung tahun ini. Apa
yang akan kamu lakukan di tahun depan? Selamat tahun baru…
0 comments:
Posting Komentar