Shadow Teacher: antara Riil dan Bayangan


Shadow Teacher.
Siapa yang tahu shadow teacher? Itu, shadow teacher (guru bayangan) adalah istilah yang lazim digunakan untuk menyebut mereka yang berperan sebagai pendamping ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Dikenal pula istilah aid teacher (guru bantu) untuk ini. Mereka terdiri dari para profesional yang berlatar studi Pendidikan Luar Biasa (PLB) maupun guru atau pekerja biasa yang bahkan sama sekali belum pernah mengenal PLB.

Shadow teacher mulai populer semenjak keberadaan ABK (terdiri dari anak dengan autismeADHDADDLearning Disability, dll.) semakin meningkat di Indonesia, terutama semenjak pemerintah mulai menyelenggarakan sekolah inklusi. Sekolah inklusi adalah sekolah umum yang menerima ABK untuk turut belajar bersama anak-anak "normal" lainnya dalam satu kelas. Artinya, tidak terpisah dan khusus. Tujuannya adalah untuk tidak membedakan ABK dengan anak-anak "normal" yang lain, membantu mereka bersosialisasi, dan membiasakan kita untuk menerima keberadaan ABK di tengah-tengah masyarakat. Sekolah inklusi tentunya juga menyediakan fasilitas untuk itu, tenaga pengajar yang mumpuni, program dan metode belajar khusus, serta prasarana lainnya untuk menunjang proses belajar ABK. Sementara ini, baru beberapa saja sekolah umum yang menerapkan program inklusi. Kebanyakan adalah sekolah swasta yang tergolong sekolah bertaraf internasional.

Sekitar dua tahun silam saya berkerja sebagai shadow teacher di salah satu sekolah bertaraf internasional yang ada di wilayah Bogor. Saya tidak lama di sana, hanya sekitar setengah tahun untuk menggantikan guru pendamping seorang ABK kelas enam yang mengundurkan diri. Sebelumnya, saya menjadi guru kelas di sekolah itu untuk menggantikan juga guru yang cuti hamil. Ya, peran-peran saya memang hanya sebagai pengganti. Meskipun sebentar-sebentar, namun saya belajar banyak sekali hal.

Shadow teacher di sana tidak berasal dari pihak sekolah. Artinya, yang menggaji mereka adalah orangtua ABK yang bersangkutan, bukan pihak sekolah. Kadang orangtua datang mendaftarkan ABK mereka dengan membawa shadow teacher-nya sendiri. Namun, ada juga yang tidak, sehingga pihak sekolahlah yang mencarikan. Dalam hal ini, departemen yang khusus dibentuk untuk menangani ABK di sekolah tersebut, bertanggung jawab untuk mencarikan shadow teacher. Biasanya hanya dari mulut ke mulut, relasi, atau juga rekrutmen secara resmi. Setelah itu, urusan diserahkan kepada pihak orangtua. Kerjasama utuh yang terjalin hanya antara shadow teacher dan orangtua ABK. Pihak sekolah tidak bertanggung jawab penuh meskipun pada praktiknya semua aspek tersebut saling bekesinambungan.

Kondisi semacam ini mengakibatkan keberadaan shadow teacher di sekolah tersebut antara riil dan hanya bayang-bayang. Bagaimana tidak, ruangan khusus bagi kami pun tak ada, seolah memang tak ada tempat bagi kami. Di ruangan departemen yang khusus menangani ABK, tersedia kelas-kelas khusus untuk para guru departemen tersebut mengajar anak-anak dalam program khusus ABK, namun tentu saja itu bukan tempat bagi kami. Sebagian shadow teacher mendampingi penuh anak didik mereka: di kelas, di ruang departemen, di kantin, di kamar mandi, di mana pun ke mana pun. Namun, ada kalanya anak-anak itu tak perlu didampingi dalam rangka berlatih mandiri dan atas anjuran psikiater atau terapis mereka, lalu di mana kami harus berdiam ketika itu? Ada "tempat khusus" memang bagi kami untuk mengajar pribadi anak-anak kami atau menangani mereka saat sedang tantrum atau berkelakuan aneh lainnya, namun tempat itu tidak secara resmi diperuntukkan bagi kami. Maka, sudah biasa jika kami merasa bingung di mana harus menyimpan tas kerja kami setiap hari. Mungkin sekarang di ruang perpustakaan, besok di ruang bermain anak, besoknya lagi dibawa-bawa saja sepanjang di sekolah. Namanya juga guru bayangan.

Suka duka menjadi guru bayangan memang tak banyak saya alami karena saya hanya mengajar sebentar. Lagipula, ABK yang saya pegang waktu itu, seorang anak ADHD kelas enam, lebih berfokus untuk menghadapi UAN. Maka, atas permintaan guru kelas dan orangtuanya, saya lebih memfokuskan diri pada akademis sang anak dengan tentu saja tetap memperhatikan kondisi anak didik saya ini. Namun, lain cerita dengan teman-teman saya sesama shadow teacher. Mereka adalah orang-orang handal yang siap sedia mengerahkan tenaga, waktu, pikiran, dan perasaan mereka untuk sang anak didik. Saya memperhatikan mereka. Mereka lebih dari sekadar shadow. Mereka adalah the real teacher.

Katakanlah, ada satu teman saya seorang guru pendamping, setiap hari selalu bersama-sama dengan anak didiknya. Waktu itu muridnya kelas lima dan ia telah menjadi pendamping sang murid sejak anak itu kelas satu. Selama lima tahun itu, ia berangkat dan pulang sekolah bersama sang anak dalam satu mobil. Kadang sepulang sekolah ia masih harus ke rumah muridnya dahulu untuk memberi pelajaran tambahan, tentang materi sekolah maupun behavior. Bukan hanya guru yang satu ini, beberapa shadow teacher lain bahkan mengawali pengajaran mereka dengan melatih sang anak duduk anteng di kelas yang katanya setengah mati melakukan itu, mengajari mereka cara memegang pensil, menulis, memegang sendok dan makan sendiri, menggunakan toilet ketika pipis dan buang air besar--hal-hal dasar, selayaknya ibu-ibu sang ABK di rumahnya. Para  shadow teacher ini juga mengatasi anak didik mereka ketika tantrum (siap ditendangi dan dipukul), mengelapi liur yang menetes, mengajari materi di sekolah, mengatasi emosi sang anak yang beraneka warna: sedih, marah, gembira, jatuh cinta. Peran mereka begitu besar. Jasa mereka setinggi orangtua kandung ABK, bahkan mungkin lebih tinggi. Kalau dihitung, barangkali waktu yang dihabiskan ABK bersama shadow teacher-nya lebih banyak ketimbang bersama orangtuanya.

Ketika ada sesuatu terjadi pada sang anak, yang dicari pertama kali adalah shadow teacher-nya. Kami bertanggung jawab kepada pihak sekolah terutama guru kelasnya dan guru mata pelajaran, kepada orangtua sang anak, juga kepada psikiater atau terapis. Saya mengalami sendiri hal ini. Setiap hari menjelang akhir jam sekolah, saya harus menulis di buku laporan mengenai apa pun yang terjadi dengan sang anak selama di sekolah, mulai dari belajar apa, cara menyelesaikan materi tertentu, hingga kejadian-kejadian khusus yang dialami sang anak. Laporan ini ditujukan kepada orangtua. Selain itu pula, saya juga biasa dimintai laporan oleh guru kelasnya mengenai anak tersebut. Begitu pula ketika ada jadwal bertemu dengan psikiaternya, saya dituntut memberi keterangan yang akurat mengenai perkembangan sang anak. Saya menyiapkan berbagai koordinasi dengan semua pihak yang terkait demi kepentingan anak didik saya. Saya belajar banyak sekali ketika itu. Berat memang, tapi saya seperti tengah dipersiapkan untuk berperan sebagai ibu.

Saya bangga sekali kepada teman-teman shadow teacher saya di sana. Rata-rata, untuk satu anak didik saja, mereka telah mendampinginya selama di atas empat tahun. Itu baru satu anak didik. Adapun mereka telah mendampingi beberapa ABK selama ini, sehingga kalau dihitung, jam terbang mereka di atas enam tahun (sesuai jangka waktu Sekolah Dasar). Banyak sekali pengorbanan yang telah mereka lakukan. Betapa bangganya mereka ketika ada salah satu anak didik yang menjuarai olimpiade sains di sekolah, tampil bermain piano di acara sekolah, mendapatkan nilai bagus dan pujian, bahkan hanya berhasil menyelesaikan soal pelajaran yang rumit. Semua itu adalah prestasi bagi anak didik mereka. Prestasi mereka adalah kebahagiaan para shadow teacher.

ABK di mata awam masih merupakan sesuatu yang "tabu", dijauhi, diterbelakangi. Namun, kini kesadaran masyarakat mulai berubah. ABK adalah anak-anak yang istimewa. Mereka tidak berbeda, mereka layak (bila memang dianggap tidak layak) berada bersama-sama dengan kita yang disebut "normal" ini. Berkat peran berbagai pihak, salah satunya shadow teacher, ABK mampu berdiri sejajar dengan kita, belajar, bermain, tumbuh, dan hidup bersama.

Bersyukur saya pernah menjadi seorang shadow teacher. Meskipun tak lama, namun pengalaman itu demikian berharga. Saya belajar banyak sekali, tentang ketulusan, kebaikan, keikhlasan, dan perjuangan seorang manusia "bernama" shadow teacher. Sementara di luar sana para teman seprofesi sibuk menuntut kertas sertifikat dan tunjangan pemerintah, para shadow teacher kita dengan kerendahan hati menerima hak mereka yang tidak seberapa itu, namun saya percaya begitu besar di mata-Nya. Ke depan, saya berharap semoga pihak birokrasi pendidikan mampu menangkap bayang-bayang mereka untuk kemudian memberi apresiasi yang layak atas keberadaan para shadow teacher. Bagaimana pun, mereka adalah guru bagi anak-anak kita. Salam hormat saya untuk sang bayang-bayang.

#ilustrasi "Shadow Teacher" dari sini#


1 comments:

Nia Nitikusumah mengatakan...

mba nanda, apakah mba masih berminat menjadi shadow teacher? kami tinggal di daerah ciputat, anak saya high functioning autism, bulan Juli ini dia masuk SD kelas 1, dia perlu shadow teacher untuk selama jam sekolah. Mohon konfirmasi atau rekomendasi dari Mba nanda mengenai shadow teacher ini. terima kasih.