Senyum Mona Lisa


Mona Lisa
           Sudah beberapa hari ini Mona terlihat murung. Ibu pun jadi ikut bingung. Disuruh makan malam, Mona hanya diam. Disuruh gosok gigi sebelum tidur, Mona tidak mau. Ia pun beralasan, “Aku, kan, tidak makan malam, buat apa gosok gigi.” Kalau sudah begini, Ibu tidak bisa memaksanya lagi.
            “Ayo semuanya, tersenyum… Siap… cheese…!”
            JEPRET!
            Pada hari Minggu, Paman dan anaknya, Kiki, berkunjung ke rumah Mona. Kiki seusia dengan Mona. Mereka sama-sama duduk di kelas 3 SD. Mereka sangat akrab, bermain sepanjang hari. Sebelum pulang, Paman menyempatkan diri memotret mereka berdua. Mona dan Kiki berangkulan duduk di sofa. Sayang, wajah Mona tampak tak ceria.
            “Mana senyum manismu, Mona?” tanya Paman.
            Ibu yang juga turut mengarahkan gaya mereka terlihat kecewa. “Mana senyum manismu, Nak?” kata Ibu dengan lembut.
            “Lihat Kiki, wajahnya terlihat sangat riang dan ceria. Kalau tetap pasang muka masam, lebih baik tidak usah difoto saja,” kata Ibu yang tidak habis pikir atas sikap Mona belakangan terakhir.
            “Ayo, dong, Mona, tersenyum. Kita, kan, mau difoto!” sambung Kiki menyemangati.
            Mona mendelikkan mata. Ia terdiam sesaat, kemudian mulai menarik bibirnya. Lebar, semakin lebar, sangat lebar… dan, terciptalah sebuah bentuk bibir yang ditarik selebar mungkin ke samping. Tarikan bibir tanpa ekspresi kegembiraan. Senyum yang dipaksakan. Ibu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Senyum yang tidak tulus, pikir Ibu.
            Malamnya Ibu menghampiri Mona di kamarnya.
            “Anak Ibu belum tidur?” tanya Ibu dengan sangat hati-hati.
            Tidak ada jawaban dari mulut Mona.
            “Bolehkah Ibu masuk?” Tanpa dikomandani, Ibu pun masuk ke kamar Mona.
            Malam ini begitu sepi. Di luar terdengar jangkrik menjerit-jerit. Suasana agak muram, seperti wajah Mona yang selalu ditekuk masam. Suasana jadi tidak enak begini.
            “Belakangan ini, Ibu lihat kamu selalu murung, Mona. Ada apa? Apa kamu sedang ada masalah dengan temanmu di sekolah?”
            “Tidak…” Mona menggelengkan kepalanya sambil tetap merebahkan diri di atas bantal.
            “Apa Mona marah sama Ibu? Atau sama Ayah?”
            “Tidak…” Mona menggelengkan kepalanya lagi.
            Ibu pun merebahkan dirinya di samping Mona. Mereka tak saling tatap. Wajah Ibu menatap langit-langit kamar. Wajah Mona juga. Mereka terdiam.
            Tiba-tiba Ibu tersenyum sendiri. Ia menarik napas panjang…
            “Kamu tahu, Mona? Mengapa Ayah dan Ibu menamakanmu Mona?” tanya Ibu tiba-tiba.
            Mona yang dari tadi diam saja tertarik juga dengan pertanyaan Ibu ini.
            “Memang kenapa?”
            “Begini ceritanya… Pada tahun 1500-an, seorang pelukis bernama Leonardo da Vinci membuat lukisan yang sangat terkenal hingga sekarang. Lukisan seorang wanita yang sedang tersenyum. Namanya Mona Lisa. Lukisan itu sangat… terkenal. Kamu tahu mengapa, Sayang?”
            Mona menaikkan tubuhnya. Ia tidak lagi berbaring sekarang. “Memang kenapa?”
            “Karena senyuman pada bibir Mona Lisa. Senyum itu adalah senyum yang sangat tulus, anggun, dan menunjukkan betapa Mona Lisa sangat bahagia. Itu yang membuat lukisan da Vinci sangat terkenal.”
            “Lalu apa hubungannya dengan namaku?” kata Mona sambil menatap wajah Ibu.
            Ibu membelai rambut Mona. “Ibu dan Ayah ingin kamu sebahagia wanita dalam lukisan itu. Punya senyuman setulus dan seanggun yang Mona Lisa punya. Karena itu, kami menamakanmu Mona,” jelas Ibu sambil tersenyum lembut penuh cinta.
            Mona terdiam. Ia tidak berkomentar. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
            “Tapi, beberapa hari terakhir ini, Ibu tidak pernah melihat senyum tulusmu, Nak. Kamu terlihat murung. Ada apa?” kata Ibu sambil membelai rambut Mona.
            Mona masih tetap terdiam. Ibu ikut-ikutan diam. Tak lama Mona mulai bereaksi. Ibu terus memerhatikannya dan menunggu. Perlahan, Mona mulai menarik bibirnya lagi. Ia menyeringai dengan mulut terbuka. Ibu agak kaget dibuatnya.
            “Iiiii…,” Mona bersuara. “Lihat ini, Bu!” katanya menambahkan.
            Mona mengarahkan telunjuknya pada tempat gigi depannya tumbuh. Sayangnya, gigi itu tak lagi ada di situ. Seminggu yang lalu gigi depan atasnya tanggal. Dua hari kemudian, gigi bawahnya yang tanggal. Gigi Mona ompong.
            Ibu merasa geli melihat tingkah anak semata wayangnya ini. Tapi, Ibu menahan tawanya. Ibu pun teringat bahwa gigi Mona baru saja ompong. Anak seusia Mona memang sedang masa pergantian gigi susu menjadi gigi tetap. Ibu jadi mengerti. Barangkali karena giginya ompong Mona jadi malas tersenyum.
            “Jadi, gara-gara ompong, anak Ibu yang periang ini tiba-tiba menjadi pemurung dan pelit senyum?” ledek Ibu.
            “Bukan karena itu juga! Tapi, karena teman-teman meledekku!” rengek Mona.
            Ibu memeluk Mona. Dibelai manja rambut anaknya yang manis ini. Setelah itu, Ibu pun menjelaskan bahwa letak senyuman bukan pada bentuk bibir atau sebagus apa gigi seseorang. Senyuman itu adalah cermin hati. Kalau seseorang tersenyum dengan tulus, wajah yang jelek pun akan terlihat cantik. Di antara harta dunia, memberikan senyuman yang tulus merupakan persembahan yang paling berharga.
            Ibu menjelaskan pula bahwa anak sesuai Mona sedang masa pergantian gigi. Jadi, gigi yang ompong adalah suatu hal yang wajar. Tak perlu menghiraukan ledekan teman-teman. Mona pun mengangguk tanda setuju.
Sebelum tidur, Ibu punya satu permintaan untuk Mona.
            “Berikan Ibu senyuman Mona Lisa-mu, Mona!”
            Setelah seminggu ini, untuk pertama kali, Mona pun tersenyum. Senyum yang tulus dari hati yang paling dalam. Senyum Mona cantik sekali, bahkan lebih cantik dari senyum Mona Lisa.

(Cerpen anak "Senyum Mona Lisa" oleh Nona Devi diterbitkan Kompas, Januari 2009)


0 comments: