Si Murai

           Dulu perempuan ini hamil. Waktu kutanya, usia kehamilannya 6 bulan. Waktu kutanya lagi, menurut USG janinnya perempuan. Waktu kutanya lagi, suaminya meninggal sebulan yang lalu. Setelah itu, aku tak tanya lagi.
            “Silakan, Mas.” Mata itu masih mengingatku.
            “Terima kasih. Sudah sebesar apa anak Ibu?”
            “Segini, Mas,” katanya seraya menandai sebuah batas tinggi dengan tangan.
            “Haha…” tawaku, terlebih karena kini kulihat ada cincin emas melingkar di jari manis kanannya. Entah apa, tapi aku senang melihatnya.
            Hujan yang sama seperti dulu. Wajahnya basah penuh awan abu-abu. Waktu kutanya, dia malah minta maaf. Waktu kutanya lagi, dia malah diam. Waktu kutanya lagi, dia malah menangis. Setelah itu, aku tak tanya lagi.
            “Maafin aku…” Mata itu mengambang.
            “Gak usah minta maaf. Sudah sejauh apa persiapannya?”
            “Maaf, Re,” katanya seraya mengusap lelehan air dari matanya dengan tangan.
            “Haha…” tawaku, terlebih karena kini kulihat ada cincin emas melingkar di jari manis kanannya. Entah apa, tapi aku tak senang melihatnya.
            Ah… wangi itu. Kenzo daun botol segitiga. Tiba-tiba semerbak harum lehernya menyerang rongga hidungku. Aku rindu muraiku. Itu, burung kecil, berekor panjang, berwarna hitam, dan banyak berkicau. Dulu terbang bersamanya adalah rutinitas. Namun, sejak dua tahun lalu, dia lebih memilih gelisah di sangkar perjodohan.
            Aku terdiam. Diam yang sama seperti saat pertama kali aku tahu akan kehilangan muraiku. Getir sesal tak tahu lagi sudah seberapa hebatnya. Andai kemarin aku tak sempat membuatnya hilang arah. Terlambat.
            Tapi sekarang, entah atas niat apa, aku kembali. Murai itu bilang kalau sekarang dia hilang arah lagi. Aku hanya tak mau telambat. Setelah kutahu telah lewat masa idahnya, aku di sini. Mungkin, hanya sekadar untuk menghapus perkabungan dalam hidupnya. Sekadar?
            Sore yang sama seperti dulu. Muraiku tetap banyak berkicau. Waktu kutanya, dia bilang baik-baik saja. Waktu kutanya lagi, dia bilang sudah tidak sedih. Waktu kutanya lagi, dia bilang sangat merindukanku. Setelah itu, aku tak tanya lagi.
            “Kenalkan, ini Bobby.” Mata kecil yang menenangkan.
            “Aduh, lucunya. Anak pintar. Berapa umurnya?”
            “Satu tahun,” katanya seraya mengacungkan telunjuk kanannya ke arahku.
            “Haha…” tawaku, terlebih karena kini tak kulihat ada cincin emas melingkar di jari manis kanannya. Entah apa, tapi aku sangat senang melihatnya.
Ah… wangi itu. Kenzo daun botol segitiga. Tiba-tiba semerbak harum lehernya menyerang rongga hidungku. Semakin lama terasa semakin menyengat. Ingin sekali rasanya kusematkan kalung emas dalam kotak di kantong celanaku ini. Sekalian cincin yang sudah dua tahun lamanya kusimpan saja. Aku tak kan terlambat lagi.


(Nona Devi, "Si Murai" dalam Bunga Rampai Cerpen DKJ Si Murai dan Orang Gila [KPG, 2010]) 


0 comments: