Unschooling: Sebuah Latar Belakang

Tidak sekolah bukan berarti tidak belajar, yah! Aku sejujurnya lagi kesal banget, juga sedih. Kebanyakan dari kita itu tidak benar-benar tahu esensi menyekolahkan anak. Iya benar, biar anak mendapatkan pendidikan. Tapi, memangnya sedalam apa mereka memahami soal pendidikan, la wong yang mereka tuju pada akhirnya hanya untuk mendapatkan ijazah di tangan. Ya, kan?

Faktanya juga, kalau nilai anak jelek di suatu mata pelajaran, ortunya yang misuh-misuh, seolah setiap anak harus pintar matematika, bahasa, sains, dan mereka kemudian mengategorikan anak itu sebagai anak pintar. Oke enggak misuh-misuh, tapi mereka tetap berbangga-bangga, tuh, ketika nilai anak mereka bagus--bentuk legitimasi keutamaan pendidikan sekolah secara tidak langsung. Pendidikan kemudian diukur dengan: anaknya sekolah di mana? Oh, enggak sekolah, terus pendidikannya gimana?

Kuulang lagi kalau begitu: tidak sekolah bukan berarti tidak berpendidikan, yah!

Sumber: https://id.depositphotos.com/

Sejengkel itu, sih, aku menghadapi anggapan miring soal tidak menyekolahkan anakku (secara formal), seolah tidak sekolah formal sama dengan tidak punya pendidikan. Mendidik anak digeneralisasi sebagai upaya menghasilkan anak yang cerdas secara intelektual, padahal aspek kecerdasan tidak hanya itu dan tidak semua itu hanya didapatkan lewat bangku sekolah.

Aku punya argumen yang kuat mengapa tidak menyekolahkan anakku, padahal ini sudah masuk usia awal sekolahnya. Harus kukatakan di sini, aku adalah seorang ibu produk akademis. Semasa sekolah, orientasiku pada nilai pelajaran yang bagus, cukup tinggi. Entahlah, apakah aku dididik seperti itu oleh orang tuaku? Mungkin saja, padahal mereka bukan akademisi. Intelektual mereka juga biasa-biasa saja. Tapi, singkat cerita, aku kerap stres kalau menghadapi ujian karena berorientasi pada nilai yang bagus itu. Orang tuaku selalu bangga dan kerap membanggakanku kepada orang lain ketika nilaiku bagus, kemudian membandingkannya dengan anak orang lain--tentu saja.

Walhasil, aku bisa dikatakan cukup berhasil dalam bidang akademis karena terbiasa mengejar nilai sejak dahulu. Aku bahkan bisa menyelesaikan tesis S2-ku di UI ketika aku sudah menjadi ibu dengan anak usia batita. Itu bukan sesuatu yang mudah untuk aku tempuh sejujurnya, bukan hanya soal pendidikannya, melainkan yang lain-lainnya juga, seperti tidak ada seorang pun yang membantu mengurus anak selain suami ketika itu, dan persoalan kehidupan lainnya. Di satu sisi, aku menganggap itu sebagai suatu prestasi, tapi di sisi lain, aku merasa kurang seimbang. Keberhasilanku dalam bidang akademis tak cukup menjawab semua tantangan dalam kehidupan ini dan segala paketnya yang datang padaku. Aku pun dipaksa merekonstruksi ulang arti dunia ini.

Di titik itu, aku mulai menyadari bahwa pendidikan itu kompleks. Bersamaan dengan itu, homeschooling sebagai metode belajar anak sedang marak dan aku tertarik. Bukan hanya kelihatannya itu cocok untuk anakku yang memang tidak mau sekolah dan cenderung eksentrik, melainkan pula masuk dengan idealismeku. Gagasan ini pun datangnya dari aku dengan banyak membaca referensi, melihat role model, mengamati perkembangan dunia, termasuk pula berkaca dari pengalamanku sendiri sehingga ini kemudian kusampaikan pada suamiku yang juga sepakat.

Kesulitannya adalah ketika itu harus dijalani karena untuk baru memulainya saja aku sudah banyak ditentang, terutama itu datangnya dari para orang tua (ibuku dan ibu mertuaku) yang notabene generasi baby boomer dan mungkin lainnya juga yang tidak secara frontal saja menganggap itu remeh. Kadang kala, kalau sedang lelah, mendengar celetukan soal pendidikan anakku yang sebenarnya biasa aja kalau aku sedang santai menjadi hal yang masalah banget dan bikin aku kesal. Rasanya, ingin sekali meluruskan pikiran orang-orang itu, tapi kalau dipikir, buat apa, buang-buang energi saja. Bukankah esensi homeschooling, terlebih unschooling itu adalah memahami hakikat pendidikan sebagaimana fitrah diri yang memang unik sebagai anugerah Tuhan, sementara jika masih berdebat dengan orang yang tidak sepaham, itu, sih, tidak meresapi nilai-nilai pendidikan 'nonformal' ini namanya. Jadi, kalau memang sungguh-sungguh di jalan ini, ya, harus banyak-banyak tutup mata tutup telinga. Fokus saja sama yang sedang dihadapi: pendidikan anakku itu sendiri, bukan sistemnya!

Untung saja aku punya kecintaan pada seni yang lumayan, khususnya sastra, bahkan sempat berteater juga, sehingga nilai-nilai berkesenian itulah yang menyeimbangkan diriku. Ditambah, aku menikahi laki-laki yang intelektualismenya lumayan, seorang yang basic-nya guru gitar klasik yang bukan produk akademis, melainkan autodidak, sehingga itu semakin mewarnai dinamika pertumbuhan kecerdasanku yang tidak harus melulu 1 + 1 = 2. Berkesenian mengajarkanku berkarya karena karya lekat dengan seni (produk seni). Melihat sesuatu dari kacamata seni membuat kehidupan ini menjadi lebih indah, memukau, menakjubkan, tak terkecuali soal pendidikan pada anak.

Karena itu, kupilih jalan ini. Aku ingin anakku bisa melihat dunia lewat pendidikan yang mengajarkannya keindahan, keterpukauan, ketakjuban. Sekolah sering kali menyeragamkan, menggeneralisasi, tak sedikit juga mengedepankan persaingan yang berujung pada stres dan depresi pada anak. Lihat saja kurikulum, sistem pendidikan di negeri ini, belum lagi persoalan guru yang tidak berkualitas. Singkat kata, masalah di dunia ini tidak hanya soal 1 + 1 = 2. Dengan pendidikan yang berorientasi pada karya, aku sangat berharap anakku bisa lebih bahagia daripada aku, lebih mampu memaknai hidup ini dengan baik. Bicara karya itu bicara seni dan seni adalah produk akal yang luar biasa. Aku akan membimbingnya untuk banyak berkarya, khususnya di bidang yang sangat diminatinya, yaitu menggambar.

Sementara itu, bagi diriku sendiri, belajar bersama anak tanpa melibatkan sekolah formal itu artinya aku pun harus banyak berkarya, yaitu di bidang yang kuminati, teks. Begitu pun dengan suamiku dengan minatnya dalam musik. Artinya, kita semua sebagai keluarga, belajar bersama, berkembang, berkarya. Itulah yang dinamakan fitrah manusia, kodrat. Mengutip kata Ki Hajar Dewantara,
"Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu." - Ki Hajar Dewantara

Bagiku, fitrah adalah jembatan yang menyatukan seorang hamba dengan Penciptanya. Dengan mengenali kodrat atau fitrah kita, kita sedang ditunjukkan tentang apa yang Tuhan mau dan inginkan dari karya-Nya berupa manusia, yaitu kita-kita ini. Di situlah sebenarnya makna kita terlahir ke dunia. Bagaimana pun, kita hidup di dunia ini tak bisa lepas dari upaya mencari Yang Tak Terlihat itu karena diam-diam kita semua sepakat pada postulat yang dibangun dan diperkenalkan oleh Hidajat Nataatmadja: "Yang gaib itu nyata, yang rasional itu abstrak, dan yang empiris itu semu".


Begitulah latar belakangku memilih metode belajar ini untuk anak pertamaku, entah untuk anak keduaku nanti yang kalau ditanya, sih, dia inginnya sekolah. Sepanjang ini memang latar belakangnya dan ribet banget, ya. Hehe. Tapi, memang substansial banget buat aku, sih. Dalam menjalani hidup yang sekali ini, kita itu perlu jadi orang baik, yang bahagia, yang sebenarnya itu bisa ditempuh dengan cara cepat, yaitu dengan mengoptimalisasikan kemampuan kita, sesuatu yang menjadi fitrah kita itu. Dan, tugas kita sebagai orang tua adalah menuntun tumbuhnya kodrat atau fitrah anak kita, bukan sekadar mendaftarkan ia ke sekolah. Ya, sudahlah, kutuntaskan sampai di sini segala kejengkelanku dengan argumen ini. Tetap semangat dan konsisten, ya! 


0 comments: