Halo, aku mau melanjutkan kisah #petualangansepuluh, deh. Momennya lagi enak buat menulis blog. Kebetulan, kemarin-kemarin ini, kok, kebayang Rumah Puspa terus. Itu, tempat tinggal pertama kami setelah menikah. Sekitar tiga tahun kami membina rumah tangga di rumah itu sampai lahir Kaka hingga usianya delapan bulan, baru kami move.
Rumah Puspa itu terletak di kawasan Jalan Tegar Beriman dekat Pemda Bogor, yakni sebuah komplek yang bernama Puspa Raya atau dikenal juga Graha Kartika Pratama karena ada dua pengembang dalam lingkup perumahan tersebut. Rumahku di komplek Puspa Raya, bagian lebih ke belakang karena bagian depannya adalah komplek Graha yang dibangun lebih baru. Perumahan ini adalah komplek TNI. Kenapa kami bisa tinggal di situ? Ya, karena ibuku TNI.
Ibuku membeli rumah ini lewat ASABRI-nya pada sekitar 2005 saat beliau dan ayahku dalam proses perceraian. Ketika itu aku sedang kuliah di tahun kedua, sedangkan adikku masih SMA. Kami pindah tepat sekali di saat rumah tersebut sudah dirapikan oleh tukang dan siap ditinggali. Tapi, proses pindahannya lumayan menyedihkan sebab sungguh di luar rencana. Perpindahan kami terjadi secara tiba-tiba dipicu satu perilaku ayahku yang tidak bisa ditoleransi lagi oleh ibuku. Mungkin, ini memang sudah waktunya saja. Konflik di antara mereka yang telah terjadi bertahun-tahun hanyalah bom waktu. Ketika Rumah Puspa sudah selesai dirapikan dan siap huni, Tuhan kemudian memberi sinyal lewat suatu kejadian yang membuat ibuku akhirnya mengambil keputusan cepat: ya, inilah saatnya kita pindah. Pembangunan Rumah Puspa menandai keruntuhan keluargaku. Kedua orang tuaku benar-benar bercerai, berpisah.
Dan, sejak pindah ke rumah ini, aku tak pernah bertemu ayahku lagi. Rumah orang tuaku dahulu tak jelas nasibnya, seperti ayahku. Dia berkelana. Mungkin setahun hanya hitungan jari aku dan ayahku bertemu, bahkan semakin ke sini, kami bisa bertahun-tahun tidak bertemu, seperti yang kualami sekarang. Tapi, saat itu aku tak tahu apa yang aku rasakan. Terkadang aku sedih, terkadang aku merasa lega, terkadang aku juga marah, tapi mungkin yang lebih banyak adalah perasaan bingung. Aku tak tahu bagaimana harus menghadapi dan menjalani situasiku yang benar-benar baru di Rumah Puspa dengan status orang tua sudah bercerai dan kami tinggal bertiga saja, para perempuan ini.
Wilayah Rumah Puspa dahulu lingkungan yang sepi. Kami termasuk penduduk awal-awal di komplek. Jalan masuknya ke rumah jauh dari gerbang komplek, belum ada bangunan-bangunan seperti sekarang selain ilalang tinggi-tinggi di pinggir jalan, lampu yang redup, jalanan berbatu dan berlubang. Kalau dipikir, aku dahulu berani benar pulang ke daerah ini. Aku hampir setiap hari di masa-masa itu pulang larut malam karena latihan teater di kampus seusai jam kuliah. Tiba di rumah bisa jam 12 malam ke atas. Pulang naik krl dari Stasiun UI ke Stasiun Bojong, lalu naik ojek sampai rumah. Pernah juga pulang larut malam naik mobil angkot dari Terminal Cibinong yang ke arah Bambu Kuning (dekat Bojonggede) dengan perasaan yang pede banget. Alhamdulillah, selamat. Hehehe.
Aku menjadi saksi atas banyak perubahan yang terjadi selama tinggal di Rumah Puspa: pembangunan-pembangunan, tetangga yang mulai berdatangan, karakter keluargaku, termasuk diriku sendiri. Aku mengalami sebuah pertumbuhan di rumah ini seiring pula rumah yang direnovasi dan diperluas bangunannya. Kami semua tumbuh di sini: aku, ibuku, adikku. Setengah perjalanan kami sebagai keluarga ternyata menjadi momen-momen yang paling berpengaruh dalam pembentukan diri kami dan cara kami menjalani hidup berikutnya. Aku banyak belajar dari keadaan itu. Lima tahun lamanya aku intens belajar di Rumah Puspa sebelum pada tahun 2010 kami melalui fase baru lagi.
Ibuku pensiun dan memilih pulang ke Kuningan, kampung halaman kami. Di sana beliau telah membangun rumah juga. Rumah Puspa dikontrakkan selama dua tahun oleh tetangga kami. Aku yang sudah lulus kuliah dan bekerja freelance memilih mengekos di Kota Bogor. Sementara itu, adikku ikut pindah bersama ibuku untuk melanjutkan hidup di sana.
Selama dua tahun, aku berpisah dengan Rumah Puspa, hanya untuk kembali lagi. Oleh karena itu, cerita tentang rumah ini terdiri dari beberapa bagian. Kapan aku akan kembali ke Rumah Puspa? Apa yang terjadi setelah kembali? Mengapa akhirnya kutinggalkan Rumah Puspa untuk selamanya?
Untuk mengakhiri bagian ini, aku hanya mau bilang kalau aku mungkin tak punya banyak kenangan manis tentang kehangatan rumah masa kecil, tapi aku punya kenangan indah tentang rumah masa transisi. Ketika aku sedang ingin mengenang masa laluku dan rindu untuk pulang, itu adalah ke Rumah Puspa, bukan ke rumah orang tuaku ketika mereka belum bercerai. Aku tak mau pulang ke rumah mereka, terlalu banyak trauma. Aku hanya membayangkan rindu pulang ke rumah transisiku: Rumah Puspa. Setiap kenangan tentang rindu selalu mengantarkanku pada rumah itu.
Di Rumah Puspa aku mengalami kelahiran kembali. Aku seperti bayi lagi yang kemudian melalui masa-masa kecil di situ. Pantas kalau aku kurang dewasa, karena aku ternyata baru lahir pada tahun 2005. Hehehe.
0 comments:
Posting Komentar