Vesper

Rasanya tumpah, ya, seperti hujan yang sekonyong-konyong dibanjurkan langit ke bumi beberapa hari terakhir ini. Aku terenyuh sesungguhnya, tapi kadang itu tak selalu bisa kuekspresikan. Air mata seperti tak cukup lagi menampung segala perasaan yang ditimbulkan oleh ketetapan ini. Pun dengan tawa, selepas apa juga aku melakukannya, semua itu tak akan pernah cukup. Rasa syukurku, rasa berharapku, semangat, kecemasan, semua melebur jadi satu yang itu tak akan bisa digambarkan dengan beribu-ribu bahasa yang ada sekalipun. Aku menjadi begitu rumit sekaligus begitu saru dengan nuansa alam semesta ini. Kadang aku berpikir, kadang aku merasa, kadang pula aku tak melakukan keduanya. Tapi, aku terus bergerak dan tak sempat lagi bertanya, siapa sesungguhnya diriku, bagaimana aku bisa melewati semua ini, apa kekuatan yang ada padaku? Aku bersedih atas keterbatasan ini. Andai aku bisa merengkuh segalanya...


Sekarang aku hanya bisa terduduk sambil menuliskan hal-hal yang masih bisa kutulis. Kusempatkan diri mendengarkan alunan yang menggugah jiwa, sebuah permainan piano Dries Riesen berjudul Vesper--doa senja kira-kira. 



Ada yang kemudian merangkaikan diri begitu saja, membentuk sebuah konteks, dan aku pun kembali belajar memaknai semua ini; selalu belajar, setiap hari, setiap waktu, selalu kembali. Tak ada yang sanggup kucapai dari perjalanan ini selain diriku sendiri yang senantiasa berkaca sembari memanjatkan doa, kemudian bergerak lagi menuntaskan kehidupan.


Teruslah berjalan, tetaplah berbuat kebaikan. Badai, gersang, bukanlah urusanmu. Semua ini hanyalah metafora. Biarkan nurani yang mengajarimu, bukan yang lain.


0 comments: