Dépaysement

Aku baru saja menghabiskan kurang dari seperempat bagian terakhir film lawas berjudul Before We Go (2014) sambil menunggu waktu Subuh. Kelihatannya aku pernah menonton film ini, tapi memang lupa jalan ceritanya. Pada bagian akhirnya, meskipun bisa ketebak akan menggantung saja, ada sedikit hal yang cukup mengagetkan juga dari cara pandang tokoh laki-laki di situ (Nick) dalam melihat sebuah arti cinta. Dikisahkan bahwa ia bertemu tokoh perempuan (Brooke) yang ternyata sedang mengalami masalah: suaminya berselingkuh, tapi ia sangat mencintai suaminya dan tak bisa lari dari semua rasa yang ia miliki.

Nick sendiri baru mengalami kejadian yang pada akhirnya benar-benar mengakhiri kegalauannya bertahun-tahun akibat diputuskan pacarnya yang masih ia cintai. Tragis pada ujungnya, tapi setidaknya ia tidak penasaran lagi dan perasaannya terhadap si mantan benar-benar selesai. Romansa banget memang jalan cerita film ini, tapi intinya bukan di kisah-kisah itu. Intinya ada pada cara berpikir Nick sebagai pembawa pesan dalam film ini bahwa setiap orang harus berjuang untuk cinta mereka. Ini bukan hanya soal cinta yang biasa hadir pada kisah-kisah percintaan dua anak manusia, melainkan pula soal cinta dalam lingkup yang lebih luas, yaitu kehidupan: cinta pada seseorang, pada sesuatu, pada apa pun.

Aku bergetar ketika menyadari pada akhirnya, Nick tidak pernah menyalahkan Brooke, suaminya Brooke, atau apa pun yang terkait dengan perjuangan cinta. Meskipun pada akhirnya sebuah kisah tidak berakhir sesuai dengan keinginan manusia, tapi setidaknya seseorang telah selalu berusaha mengikuti jalan cinta, memperjuangkan cinta yang dimiliki, dan itu yang penting. Di sini, Brooke harus tetap menemui suaminya, orang yang ia cintai untuk menunjukkan pada dirinya bahwa ia melakukan semua ini adalah untuk dirinya sendiri, untuk cinta yang ia rasakan, bukan untuk hasil apa pun, sebuah ekspektasi. Setidaknya, ia tidak lari meskipun cintanya menghancurkannya, dan ia tetap bertahan hingga titik akhir hingga mungkin cinta itu sendiri yang akan berbicara kepadanya tentang jalan yang harus ia tempuh. Bukan jalannya yang seperti apa, tapi bagaimana semua proses itu berlangsung.

Mendengar kata itu, aku jadi terenyuh. Sakti memang kata itu, seperti sihir, membuatku menangis sejadi-jadinya di akhir Salat Subuhku. Hanya dengan menyadari satu kata, cinta, aku dibuat tidak masuk kerja dan memutuskan untuk menulis di rumah. Ketika salat, hanya satu yang terlintas dalam benakku: izinkan aku mendapatkan cinta itu, mengisi kehidupanku dengan segala hal yang aku cintai.

Ya, cinta.. itulah yang mungkin akhir-akhir ini terenggut dariku. Selama ini aku bertahan hidup atas nama cinta. Sebut saja, berjuang untuk bisa menikah dengan orang yang aku cintai, memilih pekerjaan sesuai dengan apa yang aku cintai, dan lain-lain. Tapi, ternyata, belakangan ini aku mengalami apa yang dialami Brooke yang disebutnya sebagai dépaysement atau disorientasi. Hal ini terjadi, secara khusus, terkait dengan pekerjaanku.

Brooke dan disorientasinya.

Sejujurnya, aku tidak pernah berencana dan berkeinginan menjadi pekerja kantoran. Menilik ke belakang, aku sudah mengalami pekerjaan yang menyenangkanku ketika itu. Aku mengajar, menerima editan, menulis. Tapi, pada satu titik, pada awalnya aku sekadar mencoba peruntungan, yaitu mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai pemerintah di sebuah lembaga perpustakaan yang sebenarnya cukup dekat dengan kehidupan studiku dahulu. Aku tidak merasa keberatan jika aku harus diterima sebagai pegawai di sana meskipun dengan begitu, aku harus bekerja nine to five selama lima hari seminggu di ibu kota sebagai aparat negara pula--jenis pekerjaan yang bukan cita-citaku yang sejujurnya kuhindari betul untuk kualami dalam hidup. Hingga ketika aku diterima, bisa ditebak bahwa sejak dua minggu pertama, rasanya aku sudah seperti ingin keluar.

Kalau dibilang menyesal, bisa juga. Tapi, aku selalu berusaha menemukan hikmahnya, salah satunya, aku lebih diakui di mata keluarga, terutama ibuku sehingga aku bisa memilih dengan siapa aku akan menikah tanpa ditentang lagi. Tapi, sepanjang bekerja, hasrat untuk resign cepat-cepat selalu ada hingga pada satu titik yang kuanggap sebagai titik balik, di tahun setelah aku melahirkan anak pertama aku mendapatkan beasiswa dari kementerian lain untuk melanjutkan studi sastra dalam bidang filologi atau sastra klasik. Ini sangat membahagiakanku karena aku akhirnya menemukan cinta pada perkara hidup yang selama ini kujalani tanpa rasa cinta (baca: bekerja di bidang perpustakaan yang aku kurang meminatinya). Dari situ, aku kemudian menemukan perspektif lain yang membangkitkan harapan dari apa yang aku kerjakan selama ini. Di luar itu, aku pun tetap menulis, mengedit tulisan, sambil mengurus anak-anak dan keluarga, mendukung usaha suamiku, dan aku hampir sedang mengalami kecerahan dari semua ini. 

Tapi, pada satu waktu, tiba-tiba aku mengalami dépaysement itu. Kelihatannya hal ini dipicu oleh target kenaikan pangkat yang laporannya sedang kubuat, bersamaan dengan hasrat menulis yang sedang tinggi-tingginya tentang kehidupan nomaden yang pernah aku jalani. Aku akhirnya memutus energi menulisku karena deadline laporan kenaikan pangkat, tapi yang kuhasilkan adalah sakit pinggang parah sehingga aku tidak sanggup duduk lama-lama depan laptop untuk menyusun laporanku dan memutuskan untuk tidak jadi mengikuti kenaikan pangkat tahun ini akibat sakit. Walhasil aku sibuk berobat, menyembuhkan sakit pinggangku yang sampai sekarang hampir dua bulan sebenarnya masih suka terasa, dan kehilangan energi menulis! Tulisan ini menandai kembalinya aku dari kehilanganku kemarin itu. Stres, deh.

Aku pun merasa kehilangan, hampir beberapa minggu ini, diriku sendiri yang telah susah payah kutemukan sedang terseok-seok berjalan di alam dunia ini. Kemarin itu aku telah merengkuhnya, mendudukkannya pada sebuah tepi, menceritakannya kisah yang berhasil membuatnya tertawa, tersenyum, menangis, lalu jatuh cinta. Ia pun bertekad untuk melanjutkan perjalanan dengan lebih bahagia, ringan, penuh cinta dan semangat hingga sesuatu itu datang dan mengacaukan perjalanannya lagi hingga berakibat parah. Begitulah biasanya, jika sudah tahu, tetapi pengetahuan itu diabaikan, efeknya akan lebih buruk dibandingkan jika tidak tahu. Dan, kini aku sedang menepi lagi, mengembalikan diriku sendiri, mengumpulkan kekuatan untuk meneruskan perjalanan dengan kesadaran yang kudapat hari ini usai menonton film itu: cinta. Kupesankan pada diriku sendiri: melangkahlah dengan cinta, ikuti jalan cinta, perjuangkan cinta itu, dan kamu tak akan pernah merasa lelah, karena cinta adalah kekuatan itu sendiri sehingga dengan sendirinya, kamu akan selalu kuat dalam cinta.

Penyair sufi Jalaluddin Rumi bilang, 
"Yakinlah, di Jalan Cinta itu: Tuhan akan selalu bersamamu."

Aku akan tetap menulis dan selalu menulis. Aku akan turut membangun dan mendukung usaha suamiku hingga berkembang pesat. Aku akan menyelesaikan segala tagihan yang menghambatku dalam hidup. Aku akan keluar dari rutinitas pekerjaan ini. Aku akan bermain sepanjang waktu dengan anak-anakku hingga tak ada bedanya bagi kami belajar dengan bermain itu. Aku akan menghabiskan banyak kesempatan untuk bersama keluargaku: ibuku, ayahku, mertuaku, adik-adikku, keluarga, sahabat, segala makhluk yang ada di muka bumi. Aku akan menyisakan banyak kebaikan bagi kehidupan, meninggalkan banyak kenangan manis. Aku akan mencintai semua ini dengan sebenar-benarnya cinta. Aku akan bahagia. Aku akan membahagiakan orang-orang di sekitarku. Aku akan bersyukur pada Sang Cinta dengan lebih baik, lebih dalam, lebih bijaksana.

Terima kasih kepada sutradara Before We Go. And for us: have a lovely moment!

0 comments: