Lebaran, Liburan, Leburan

Kebahagiaanku di momen akhir Ramadan ini agak berbeda, personal sekali sifatnya, dan ini ada kaitannya dengan aku dan anak-anak yang akan berlebaran di kampung halaman tanpa suami yang ingin berlebaran di rumah saja. Tentu ini menjadi tahun pertama aku dan suami berlebaran terpisah sepanjang kami berumah tangga. Lah, lebaran berpisahan begitu, di mana letak kebahagiaannya?


Hehe, sini merapat aku jelaskan. Secara kronologis, awalnya kami tidak berencana mudik tahun ini, tapi ibuku yang rencananya akan ke kami di momen lebaran. Tapi, ketika masuk beberapa hari puasa, dengan dipicu oleh beberapa alasan, aku memutuskan untuk kita mudik saja, yuk. Eh, ternyata sinkron, pemerintah memberi cuti bersama dan tentu membolehkan mudik. Ney pun siap saja untuk mudik, sama sekali tidak ada pemikiran untuk tidak ikut. 


Tapi, sekitar seminggu sebelum hari H mudik, mendadak suamiku itu memutuskan untuk tidak ikut. Syok, dong, aku, bawa anak dua, mudik tanpa suami--membayangkan kerepotan dan opini keluarga yang kita enggak tahu. Sempat berdebat pastinya, tapi, kok, ya cuma hitungan menit, mendadak seperti ada yang kasih tahu aku, "Ya udah, enggak apa-apa, sih, kalau dia memang enggak mau ikut. Jangan dipaksa. Dia mungkin memang lebih butuh di rumah, kita enggak tahu mungkin ada apa, tanpa ada kerecokan bersama anak-istri juga, sementara aku dan anak-anak memang butuh suasana baru, seperti mudik lebaran ini."


Pada akhirnya, aku dengan mudah saja menerima fakta bahwa dia enggak akan ikut, tapi masih seperti berharap dia berubah pikiran, sih. Hihi. Tapi, lucunya, pada hari berikutnya, dia itu yang justru belum bisa menerima kenyataan kalau kami mau pergi mudik. Kelihatannya, masih ada keinginan dalam dirinya untuk mencegah kami mudik, cuma dia enggak bilang. Akhirnya, sekitar dua harian, deh, kita berdebat terus, cuma buat menemukan satu kata: ikhlas. Iya, ikhlaskan bahwa si suami tidak akan ikut mudik lebaran bersama istri dan anak-anaknya; ikhlaskan bahwa istri dan anak-anaknya ini akan berlebaran di kampung. Bukan apa, si Kaka sudah happy banget akan mudik ke rumah neneknya di Kuningan. Dia bahkan dengan mudahnya menerima kenyataan bahwa, "Yayay enggak ikut, ya, Ka." Dan, itu sama sekali tidak mengurangi rasa excitednya.


Lantas, di mana letak bahagianya? Haha, mungkin untuk sebagian orang ini terdengar sepele, tapi tidak juga untuk beberapa yang lainnya. Ibuku saja waktu kukabari suamiku tidak akan ikut sempat protes, berpikir yang tidak-tidak, ya.. mainstreamlah, bisa ditebak. Tapi, setelah kujelaskan, akhirnya Mama mengerti juga.


Pada intinya, aku bahagia, karena di titik ini, sebagai pasangan suami istri, kami berani untuk jujur, baik pada diri sendiri maupun pada satu sama lain. Aku jujur, aku butuh suasana baru dengan berlibur pada momen mudik lebaran ini di kampung halaman, di rumah ibuku, bertemu dengan sanak saudara, begitu pun dengan anak-anakku. Mereka butuh berlibur, berkumpul bersama keluarga, bertemu orang-orang berbeda dari yang biasa mereka temui sehari-hari (baca: orang tua). Di sisi lain, suamiku pun jujur bahwa dia lebih ingin menghabiskan momen lebarannya ini untuk self-healing, menciptakan hubungan yang baik dengan dirinya sendiri yang mana itu tidak akan dia dapatkan kalau dia ikut mudik--ikut mengurus anak-anak, bertemu dengan banyak orang. Dia tidak akan mencapai kebahagiaannya kalau dia ikut mudik. Sebaliknya, aku tidak akan mencapai kebahagiaanku kalau aku tidak mudik dengan membawa anak-anak, memberi sejenak ruang baru buat mereka. 


Pada akhirnya, aku merasa bahwa kami tengah mencapai titik kedewasaan kami sebagai pasangan suami istri dan orang tua bagi anak-anak kami. Kebahagiaan antara suami dan istri bahkan bisa berbeda. Ternyata, kebahagiaan itu sifatnya personal, tidak bisa dilegitimasi oleh status. Kebahagiaan itu hanya milik diri kita sendiri utuh, tidak tergantung pada apa pun, pada siapa pun. Dan, aku bahagia, karena masing-masing dari kami telah belajar menghargai sisi paling personal dari setiap makhluk ciptaan tuhan, yaitu rasa bahagia. Konon, bahagia itu adalah pencapaian ruh, bukan lagi sekadar tubuh atau jiwa. Dan, ruh adalah sebagian dari diri Tuhan yang ditiupkan pada manusia. Kita dan bahagia itu seperti kita dengan Tuhan. Kebahagiaan seseorang ada di wilayah itu. Hal yang kita butuhkan hanya ikhlas menerima paket kebahagiaan yang Tuhan berikan untuk kita, apa pun bentuknya, itupun jika kita benar-benar ingin mencari kebahagiaan, yang sejati, bukan yang semu.


Maka, percuma beribu alasan dilontarkan suamiku: "Anak-anak guppy enggak ada yang urus, rumah siapa yang jaga, ada tukang mau benerin yang bocor," aku tak peduli. Aku cuma percaya, "You need to be alone, it's ok. Be happy! Lakukanlah apa yang tidak bisa kamu lakukan selama ada aku di rumah, terutama, sih, anak-anak yang riuhnya setengah mati itu. Nikmati dirimu sendiri. Semoga kamu bisa mendapatkan sesuatu." Doa yang sama untuk diriku sendiri dan anak-anak tentunya: semoga kami bisa menikmati setiap momen yang diberikan kehidupan ini. 


Sedemikian kompleksnya, ya, manusia dengan dirinya sendiri sampai-sampai untuk menemukan kebahagiaan saja harus berputar-putar dan berdebat panjang. Akan tetapi, atas semua ini, aku bersyukur bahwa Tuhan telah menunjukkan jalan-Nya dan hikmah dari segala sesuatu. Thank you!


0 comments: