Gila, ya, Ardhito!

Kesukaanku menontoni Ardhito Pramono belakangan ini di podcast yang bertebaran atau menikmati lagu-lagunya di Youtube sambil mengentri kerjaan di kantor ternyata mengandung "something" yang aku sendiri baru sadar sekarang ini. Kenapa aku sampe sebegitunya?


Jelas, aku bukan semacam anggota fans Ardhito karena wajahnya yang memang manis banget dan dia jago bikin musik--Ardhito bahkan lebih cocok manggil aku tante kali, ya.. Tapi, ternyata Ardhito telah mengungkit kecintaanku yang paling dasar yang telah mengendap selama ini yang pada akhirnya, aku jadi enggak sekadar mengagumi Ardhito dan karya-karyanya di layar PC, tapi mengamati dia sebagai sebuah karya Tuhan, seorang manusia yang tercipta. Lantas, aku pun membandingkan bagaimana Dia bekerja pada Ardhito-Ardhito lainnya di muka bumi ini. Yes, aku berpikir tentang bagaimana musisi/musikus dengan karya dan kehidupannya diskenariokan oleh Sang Pencipta.


Kenapa aku jadi berpikirnya ke situ? Well, karena suamiku (ternyata) adalah musisi. Dan, aku kayak baru memahaminya setelah "mengenal" Ardhito ini. Gila, ya, Ardhito, menyadarkan banget, deh!


Suamiku memang enggak populer seperti artis atau bahkan seperti adiknya yang mulai benar-benar jadi artis-musik dikenal se-Indonesia. Tapi, sebagai profesional, dia adalah musisi, orang yang hidupnya bermusik, jiwa dan raganya didedikasikan untuk musik, bekerja selama ini dalam dunia musik. Tapi, kadang musik di sini bisa tampil pula dalam konteks seni ya, bukan sekadar komoditas.


So, ketika dalam sebuah podcast, Ardhito ditanya tentang apakah dia sebagai musisi yang jelas alat-alatnya (alat musik) saja mahal, adalah musisi yang dimodali ataukah hasil perjuangan sendiri mengingat banyak musisi yang pada akhirnya enggak berkarya karena keterbatasan alat (sebagai modal atau kapitalnya pemusik)? Dari pertanyaan itu, Ardhito baru sadar, well, yah, dia adalah musisi yang dimodali (dibuatkan studio oleh ayahnya dan mungkin juga didukung secara psikologis dll.).


Dari situ pula, aku jadi sadar banget, suamiku tidak seberuntung Ardhito dan mungkin yang lainnya. Dia bukanlah musisi yang dimodali. Sebenarnya ada yang lebih ekstrem lagi dan dekat dengan kami adalah teman musisinya yang mengawali karier musiknya dari mengamen di dalam bus hingga akhirnya hijrah ke Bali dan kini alat musiknya sudah yang mahal-mahal aja, kan.. gitar puluhan juta (jadi semacam tolak ukur keberhasilan musisi, ya, haha). Sementara itu, suamiku... dia ketika itu middle aja, sih, engga susah banget, tapi enggak nyaman banget juga. Ada gitar, bagus, alat-alat middle yang mumpuni, murid-murid yang belajar klasik, bikin aransemen bareng gitaris-gitaris di lingkungannya, bikin lagu juga, baru mau bikin konten Youtube buat kelas gitarnya dengan metode dia sendiri, tapi ada satu titik dalam hidupnya, dia dipaksa untuk struggle demi anak-anak kami yang lahir sebelum dia settle dalam posisinya sebagai seorang musisi... hingga dia perlahan harus menjual perlengkapan bermusiknya dan memutuskan untuk menjaga anak-anak demi mem-back up aku yang bekerja dan ada masanya juga ketika itu aku harus sekolah lagi. Kami semua gak pernah menyangka pada skenario Dia yang satu ini!


Dan.. di sinilah aku baru sadar sesadar-sadarnya, it was definitely so hard for him and also for me actually karena dengan begitu aku pun harus struggle for our financial need. Gila, ya, berumah tangga itu!


Selain itu, yang paling miris lainnya dan enggak bisa didebat lagi adalah bahwa gue sayang sama dia, aku tuh suka sama suamiku, sama orang-orang kaya Ardhito. Sebagai perempuan, aku suka sama laki-laki tipe begini, sebut saja jago main musik, bikin musik, dan semacamnya. Ini tidak terjadi setelah aku dewasa aja, tapi sudah menjadi cita-cita sejak kecil mungkin ya, karena waktu aku TK atau SD kelas 1-2 gitu, aku suka banget sama musisi Mus Mujiono. Jadi, sejak aku berumur lima tahun ke atas, kalau dicandai teman-teman kantor Mama, ditanyai pacarnya siapa, aku selalu jawab: Mus Mujiono! Aku ingat banget, kami waktu itu masih tinggal di Bekasi yang berarti aku masih berumur 5-7 tahunan dan aku menikmati banget nonton TV dengan Mus Mujiono lagi main gitar di dalamnya. Begitu bucinnya gue sama musisi-musisi gitu.. huhuhu.

Mus Mujiono: bucin aku dari kecil (sumber).

Ini tentu saja miris karena di titik ini suamiku dan aku pun pastinya lagi struggle banget sama keadaan yang jauh dari apa yang menjadi cinta kami terbesar dalam hidup: berkesenian; atau ya, mungkin, bentuk cinta kami ini telah atau sedang bertransformasi menjadi dua anak manis, lucu, gemesin, dan jengkelin itu: Kaka dan Rerey. Demi anak-anak pada akhirnya, kami harus berkorban.


Ironis, sih, sebenarnya, karena tampaknya sepele saja, tapi sebenarnya sewindu ini kami menjalani hidup yang penuh sekali perjuangan--Agustus tahun ini kami tepat sewindu menikah. Banyak sekali kecelakaan berpikir yang jika tidak segera ditangani, bisa sangat berakibat fatal, dan mungkin kami harus menjalani windu-windu berikutnya dalam keadaan pincang, lumpuh. Kami tidak mau! Karena itu, cukup sewindu ini saja kami harus diterpa dengan keadaan yang bikin kami banyak sekali belajar. Alhamdulillah, Tuhan kasih kami pertolongan, meluruskan cara berpikir kami yang bengkok, membuka mata kami pada pengorbanan keluarga yang sangat tulus dan luar biasa, serta menunjukkan wajah-Nya pada kami. Dia begitu baik dan sangat indah!


Salah satunya, ya, lewat si Ardhito ini dan musiknya yang mengena banget di hati aku. Musik yang dibikin dengan kesadaran yang baik (atau mungkin orang dengan jiwa yang baik) dan mengandung nilai-nilai kebajikan, mungkin dengan sendirinya akan sangat indah dan menyentuh, memberikan getar-getar yang berbeda; atau mungkin, ya, musik dia lagi sefrekuensi aja sama aku sehingga di satu titik, itu bikin aku menyadari banyak hal dalam hidup dan merenung.


Maka, setelah ini aku banyak berpikir pula dan telah kusampaikan sama suami, "Jika Allah menghendaki kita berkarya lagi di depan nanti setelah apa yang kita alami bertahun-tahun ini dengan segala kejatuhan dan kesusahan yang menyedihkan, aku mau kita berkarya yang baik, yang murni hendak menyampaikan nilai-nilai kebaikan, kemanusiaan, keindahan, spiritualisme, menampilkan wajah Ilahi yang indah, ajaib, baik, menjunjung keesaan Tuhan, pokoknya semacam itu. Kita tunjukkan itu dalam musik, nada-nada, puisi, kata-kata, benda-benda, dan lain-lain. Masalah itu nanti karya dipublikasi atau tidak, diuangkan atau tidak, dan semacamnya, itu bukan urusan kita. Urusan kita cuma berkarya dan berusaha. Jika ditakdirkan karya-karya kita itu bisa menghidupi kita, ya Alhamdulillah.. berarti itu rezeki dari Allah, itu kehendak-Nya. Jika tidak, ya, bukan masalah. Kita tetap akan menjalani peran hidup kita dengan sebaik-baiknya, wajar, dan apa adanya, karena prioritas kita sekarang adalah do the best buat anak-anak."


Aku percaya ada windu-windu yang baik setelah ini dalam kehidupan rumah tangga aku, Insyaallah. Esensinya sudah kutangkap dan dengan sebuah entitas itulah aku melangkah kini, menjalani proses kehidupanku. Semoga tidak ada lagi kecelakaan dalam berpikir, Tuhan senantiasa menyelamatkan otakku.


Well, makasih, ya, Ardhito, sudah menjadi inspirasi. Semoga kehadiran-Nya selalu dapat kita resapi dalam berkehidupan di dunia ini. Seperti yang sering dikutip oleh para sufi, "Kemanapun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah" (QS. al-Baqarah [2]: 115), semoga kita senantiasa melihat-Nya. 


1 comments:

Anonim mengatakan...

Semoga Gusti senantiasa basuh jiwa-jiwa yang baik dari cahaya yang memantul di tiap relung-relung kesadaran