Si Benang Merah

Tampaknya benar apa yang dikatakan para ahli kehidupan tentang garis takdir manusia. Setiap orang terlahir dengan garis takdirnya sendiri-sendiri, bahkan bukan cuma manusia, melainkan semua yang ada di muka bumi ini. Eh, tapi menuliskan hal ini bikin aku tersenyum geli juga. Benarkah sepercaya itu aku pada takdir hidup?

Hmmm...
Pagi-pagi dengan secangkir teh hangat yang biasa saja rasanya, aku kini "terdampar" di sebuah tempat yang ada di tengah-tengah keramaian kota yang sesungguhnya tidak metropolis amat. Kota yang padat, mobilitas tinggi, berisik, tapi toh menjadi tempat berdiam juga. Entahlah bagaimana semua perjalanan ini pada akhirnya membawaku ke sini, dalam penantian kelahiran anak keduaku. Apakah benar-benar ini yang aku maksud dalam hidup? Apakah ini yang sesungguhnya aku inginkan, atau mungkin aku butuhkan?

Tak sempat ada pertanyaan lagi dan sebenarnya tak penting juga. Hanya saja, foto berdua bersama Ney pada tahun kedua pernikahan kami sebelum hamil Kaka yang kulihat beberapa hari lalu agak mengusikku. Ternyata, kami tidak mengawali kehidupan rumah tangga kami dari nol, tetapi dari plus. Banyak plusnya sehingga kami mungkin tidak seperti kebanyakan pasangan yang ditangguhkan mentalnya dan diuji kelayakan visi misi hidupnya sejak awal pernikahan. Kami baru melakukannya pada usia tiga tahun perkawinan, tepatnya sejak Kaka lahir dan kami meninggalkan rumah itu untuk memulai petualangan berumah tangga yang sesungguhnya.

Ninu en Yayay di tahun kedua pernikahan
sebelum punya anak tentunya. Lucu, ya?
Sungguh-sungguh berkehidupan, melatih mental, menguji kesabaran, membuat strategi. Mungkin keadaan bisa tidak separah itu, tapi ternyata kehidupan kami memang benar-benar tidak mudah. Sekeras apa pun aku berusaha meringkas perjalanan ini, membuatnya menjadi sangat sederhana dan mudah, namun ternyata aku terbentur juga, yang membuatku merasa sangat tersadar, mungkin benar ada yang namanya takdir dalam kehidupan. Aku bahkan tak tahu apa fungsinya karena sebagai manusia, kami seperti tidak pernah bisa berkompromi dan mau mengalah pada idealisme yang kadung dimiliki. Pada akhirnya, semua ini, apa pun bentuknya ketragisan yang telah kami alami, hanyalah bagian dari perjalanan yang harus kami tempuh. Cita-cita dan idealisme tetap tumbuh, sekalipun kini kami harus bergulat lagi dengan kelahiran anak manusia baru dalam kondisi yang benar-benar di luar perkiraan.

Anak ini, akan lahir dalam hitungan hari. Semakin ke sini, aku merasa semakin sukacita. Padahal, kami benar-benar sendirian, kami sungguh-sungguh kehilangan. Kami seperti terlempar dari kehidupan, meruntuhkan bangunan kami sendiri, untuk memasang pondasi yang lebih kuat pada bangunan baru yang menanti di depan kami. Sedih? Jangan ditanya. Kami sekarat. Kami depresi. Tapi, bukanlah aku dan Ney kalau tidak kuat berdiri, berjalan, menantang. Di sinilah kami sekarang. Hanya ada kami: aku, Ney, Kaka, dan Sang Putra Langit yang selalu kami bicarakan sejak awal, bahkan sebelum menikah, yang sebentar lagi akan hadir dalam lingkaran.

Oh baby, maafkan aku yang tak pernah mengajakmu bicara. Aku hanya speechless. Bagiku, kamu terlalu kuat, bahkan untuk mengetahui kedalaman diriku sendiri, ibumu. Aku tak perlu mengatakan apa-apa lagi karena sepertinya kamu lebih mengetahui banyak daripada yang aku tahu. Dan, kamu adalah pemilik takdir hidupmu penuh. Kamulah penentu, segalanya. Kamulah pamungkas. Kehadiranmu adalah kekuatan bagi lingkaran ini. Kamu mengikatnya lebih kuat lagi, membuat kami menjadi satu, utuh, selamanya, dalam ikatan bernama fambily--begitu Kaka menyebutnya.

Baby, Rey Putra Langit kami, kamulah ini yang sering kami bicarakan itu sejak dahulu. Sungguh, aku merasa semua ini sangat menakjubkan. Aku seperti kembali menemukan benang merah kehidupan yang mengaitkan masa lalu dan masa depan kami. Aku berharap lebih dari sekadar kelahiran anak manusia baru. Kami berharap lebih dari sekadar kelahiran bayi. Kita sedang harus membangun kehidupan baru lagi, Nak! Kehidupan dalam cinta dan semangat yang tak akan pernah padam, senantiasa mengalir bagai sejatinya jiwa.

Kita selamat ya, Nak. Kita harus kuat dan bekerja sama. Bagaimana pun juga, kita harus ada untuk kehidupan ini. Sehat, selamat, kuat. 

Baby, Rereyku. Kaka senang banget mau punya adik. Si Ney, suamiku itu, ayahmu, membutuhkanmu lebih dari apa pun. Sementara aku, bukan hanya akan memelukmu dalam kehangatan, melainkan pula mengajakmu bermain-main dengan Kaka. Haha. Mungkin hanya itu kebisaanku, bermain-main. Tapi, kamu tentu mempercayaiku lebih dari apa pun, lebih dari kepercayaanku pada diriku sendiri.

Ajarilah sesuatu. Sampaikanlah sesuatu. Berilah kami pemahaman-pemahaman. 
I love you, Rey. We love you.
See you soon, my son.

Love, Ninu.   

0 comments: