Keluarga Literat #SahabatKeluarga #LiterasiKeluarga

Anak literat, gemar membaca
Ketika itu, menyusui si sulung sambil membaca buku hasil disertasi para sarjana adalah pemandangan yang biasa dalam rumah kami. Pada momen tersebut, kadang saya merasa sangat beruntung. Mungkin saya sedang menularkan nilai-nilai literasi kepada anak saya lewat kegiatan memberi ASI. Konon, menyusui dapat membangun ikatan emosional antara ibu dan anak.

Pada saat anak saya berusia delapan bulan, saya mendapatkan beasiswa untuk meraih gelar magister dalam bidang kesusastraan klasik. Selain senang karena dapat belajar lagi sesuatu hal yang memang saya minati, sebagai ibu pekerja, itu artinya juga waktu mengurus si sulung yang masih bayi secara lebih optimal. Saya mendapatkan cuti belajar dari kantor selama masa studi tersebut, yaitu dua tahun. Tentu saja hal itu membuat saya bahagia. Ini adalah kesempatan yang baik untuk memulai babak baru dalam kehidupan saya, yakni menjadi seorang ibu.

Faktanya, saya melalui fase baru saya tersebut dengan banyak sekali belajar, menjadi pembelajar. Tetapi, belajar di sini artinya bisa sangat akademis, ya. Dengan pula berstatus sebagai mahasiswa, setiap hari yang saya lakukan tidak jauh-jauh dari urusan perkuliahan: membaca buku, mengerjakan tugas, menulis paper. Lama-kelamaan, aktivitas ini saya pikir baik juga untuk menumbuhkan budaya literasi pertama dalam rumah (baca: keluarga), khususnya kepada anak saya yang masih bayi. Sebagai gambaran ekstremnya, jika saya tidak sedang kuliah lagi, tentu saya tidak menyusui anak sambil membaca buku Hikayat Sri Rama karya seorang sarjana filologi misalnya, tapi kemungkinan besar sambil mantengi medsos via ponsel ala ibu-ibu milenial.

Budaya Literasi dalam Keluarga
Menurut saya, literasi tumbuh dari sebuah kesadaran, yakni mengembangkan kemampuan dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Hal ini tentu lebih dari sekadar memaknai literasi sebagai keberaksaraan. Adapun praktiknya bisa bermacam-macam disesuaikan dengan konteks. Dalam ruang lingkup keluarga, hal ini terkait erat dengan budaya dalam rumah, dan tentu saja, kebiasaan orang tua. 

Ki Hajar Dewantara (1961) mengungkapkan bahwa pendidikan keluarga sebagai alam pendidikan yang permulaan merupakan pendidikan yang pertama kali. Dalam konsep pendidikan keluarga ini, orang tua berkedudukan sebagai guru (penuntun), pengajar, pemimpin, serta pemberi contoh dan teladan bagi anak-anak. Oleh karena itu, orang tua dan kebiasaannya adalah hal utama yang harus diperhatikan dalam proses pendidikan keluarga, termasuk pula penciptaan budaya literasi dalam rumah.

Kebiasaan orang tua menjadi penting mengingat ayah dan ibu ini adalah pusat literasi dalam rumah (keluarga). Mereka dituntut untuk dapat menciptakan nilai keluarga. Untuk satu tugas ini saja, orang tua sesungguhnya telah berperan sebagai pegiat literasi. Akan tetapi, kebanyakan orang tua tidak menyadarinya. Literasi menjadi sesuatu yang tampak berjarak karena kerap dikaitkan dengan intelektualitas. Padahal, literasi hadir sesederhana seorang ibu menulis di dekat wastafel sebuah kalimat aturan dalam keluarga, “Setelah makan, segera cuci piringnya sendiri!”

Ketidaksadaran peran dalam budaya literasi ini membuat orang tua sering kali membutuhkan pengondisian. Sebagai contoh adalah pengalaman saya. Jika saya tidak dikondisikan sekolah lagi, kesadaran saya untuk membudayakan literasi dalam rumah (keluarga) dan menumbuhkannya pada diri anak mungkin tidak setinggi ketika saya ternyata harus kuliah setelah menjadi ibu-ibu. Pengondisian ini pada akhirnya menciptakan kebiasaan-kebiasaan. Dari kebiasaan itulah, budaya literasi seolah muncul secara otomatis dalam keluarga kami. Sebut contoh, menyusui anak sambil membaca buku, menulis makalah sambil menggendong anak, mengajak anak ke kampus hingga membuatnya menunggu sang ibu selesai kuliah, hunting buku di perpustakaan sambil bawa-bawa anak, dan lain-lain.

Apa anak saya belajar sesuatu? Tentu, ya, meskipun kegiatan literasi tidak secara langsung saya ajarkan kepada anak, seperti seorang guru mengajar murid, mengingat anak saya ketika itu juga masih berusia di bawah dua tahun. Tapi, paling tidak, kebiasaan ini terekam dalam memorinya, dan kemungkinan akan dianggap sebagai kebiasaan si anak pula. Dalam hal ini, perilaku literat seolah tertransfer secara genetis.

Terbiasa menunggu ibunya kuliah di kampus sejak usia di bawah satu tahun
Nah, pertanyaannya sekarang adalah bagaimana jika sebuah keluarga tidak terdiri dari orang tua yang secara standar dikatakan literat, seperti mempunyai gelar akademis tertentu yang menandai kualitas pendidikan atau memiliki profesi tertentu yang menandai keberhasilan mengembangkan kemampuan kecakapan hidup. Apakah orang tua yang katakanlah tidak dikondisikan untuk memiliki kesadaran dan mengembangkan budaya literasi dalam rumah seperti ini tetap bisa menerapkan nilai-nilai literasi dalam keluarga?

Sebagai ibu yang katakanlah literat, saya tidak serta-merta dapat membudayakan literasi dalam rumah, menumbuhkannya pada diri anak saya, jika saya pun tidak memiliki kesadaran, meskipun saya melakukan tindakan-tindakan yang saya pikir literat. Artinya, jika pada level selanjutnya, saya tidak mengajak anak saya berpikir, mengenalkan pada suatu pengetahuan, mengajarkan baca-tulis dan kecakapan hidup, praktis saya tidak melibatkannya dalam praktik literasi. Dalam hal ini, saya tidak mengembangkan dirinya sebagai seseorang yang literat.

Begitu pula, meskipun ada orang tua yang hanya lulusan SD misalnya, jika mereka mempunyai kesadaran yang tinggi akan literasi, bahwa literasi dapat meningkatkan kualitas hidup anak-anak mereka, tentu kesadaran ini dapat menggerakkan para orang tua tersebut untuk menjadi literat juga, kemudian menularkannya kepada anak-anak mereka. Kesalahan paradigma kita adalah salah satunya mengidentikkan kaum literat dengan pendidikan formal. Padahal, praktik literasi berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Kuncinya ada pada kesadaran.

Contoh konkret, saya punya seorang teman yang ayahnya tidak lulus SMP. Akan tetapi, sang ayah dapat dikatakan punya kesadaran yang tinggi akan literasi. Pendekatannya melalui sastra dengan salah satu bacaan favorit buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer. Pada gilirannya, gairah literasi ini tertular pada sang anak. Teman saya itu pun menjadi penggila sastra dan kini berprofesi sebagai guru bahasa di salah satu sekolah internasional. Kalau dipikir, ia bisa saja tidak menjadi seperti dirinya sekarang ini jika melihat latar belakang orang tuanya. Tapi, kesadaran sang ayah, pada mulanya, telah menciptakan dan menumbuhkan budaya literasi dalam keluarga mereka. Orang tua dan anak sama-sama literat.

Praktik Literasi dalam Keluarga
Ada sebuah kajian baru yang disebut Kajian Literasi Baru yang memandang literasi sebagai praktik sosial. Salah satu konsep yang ada di dalamnya adalah praktik literasi. Dalam bahasa sederhana, praktik literasi adalah apa pun yang dilakukan orang dengan literasi. Praktik literasi melibatkan nilai, sikap, perasaan, dan hubungan sosial (Dewayani & Retnaningdyah, 2017).

Barton, Hamilton, dan Ivanic (2000) memberikan beberapa konsep penting untuk memahami literasi sebagai praktik sosial. Beberapa di antaranya adalah literasi dimaknai sebagai serangkaian praktik sosial yang bisa dirunut dari berbagai peristiwa yang melibatkan teks tertulis, terdapat jenis-jenis literasi yang berbeda dalam aspek kehidupan yang berbeda pula, dan praktik literasi memiliki tujuan tertentu dan terkait erat dengan tujuan sosial dan praktik budaya secara umum. Mengkaji literasi sebagai praktik sosial berarti melihat bagaimana aktivitas literasi berperan dalam sebuah situasi sosial (Dewayani & Retnaningdyah, 2017).

Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat dan dapat memberikan pengaruh yang besar bagi perubahan sosial (Lestari, 2012). Melihat praktik literasi dalam keluarga berarti melihat pula aktivitas literasi sebagai praktik sosial. Praktik literasi ini sangat bergantung pada konteks. Artinya, satu keluarga dengan keluarga lainnya memiliki praktik literasi yang berbeda. Konteks ini dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan dan budaya keluarga dalam rumah, latar belakang orang tua, ekonomi keluarga, dan situasi sosial lainnya yang tumbuh dalam sebuah keluarga. Dengan demikian, penerapan literasi terhadap anak juga tidaklah sama antara satu anak dan anak yang lain. Jenis literasi yang berkembang juga berbeda-beda dan bergantung pada tujuan sosial yang hendak dicapai oleh keluarga tersebut.

Berdasarkan konsep ini, praktik literasi dalam keluarga tidak bisa distandardisasi. Setiap keluarga mempunyai aktivitasnya sendiri dalam membudayakan literasi. Di sini, tidak ada satu aktivitas yang dinilai lebih baik dari aktivitas lainnya antarkeluarga.

Mengajak anak ke perpustakaan sambil menemani ibunya mencari buku untuk tugas kuliah tidak dianggap lebih baik (baca: literat) daripada membantu seorang ibu yang penjaga warung melayani pembeli sambil belajar mengenal barang-barang dagangan dan hitungan. Memberikan buku bacaan dwibahasa berilustrasi kepada anak tidak dianggap lebih literat dari menyodorkan bacaan yang terdapat pada kertas pembungkus dagangan dengan maksud mengenalkan abjad kepada anak. Membacakan kisah The Gruffalo atau gadis penjual korek api sebelum tidur tidak lebih baik dari bercerita tentang pengalaman seorang ayah yang nelayan menangkap ikan di laut pada hari itu. Keadaan literat tidak bisa digeneralisasi dalam satu aktivitas literasi tertentu dari orang tua kepada anak. Hal yang terpenting dari keadaan literat adalah bahwa seseorang memiliki gairah belajar dan mampu mengembangkan pengetahuan.

Praktik literasi:
mengajak anak ke perpustakaan kampus, menstimulus gairah belajar anak

Orang Tua Literat, Anak Literat
Memaknai literat yang seperti itu, tentu membutuhkan peran kesadaran yang sangat tinggi. Kembali lagi, kuncinya ada pada kesadaran sebab praktik literasi berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Kita, orang tua, terkadang tidak sempat lagi memilah: mana praktik sosial yang kita lakukan dalam keluarga yang bernilai literasi dan mana yang tidak.

Meskipun demikian, kita dapat terus-menerus mengingatkan diri sendiri sebagai orang tua dan mendidik diri kita tentu saja untuk senantiasa belajar dan mengembangkan pengetahuan. Pendidikan kita terhadap diri kita sendiri diharapkan dapat menjadi penunjang bagi terselenggaranya pendidikan keluarga yang baik. Prinsip saya, orang tua yang belajar dapat melahirkan anak yang juga bergairah belajar.

Budaya literasi dalam kebiasaan membaca
Budaya literasi dalam keluarga tumbuh dari pendidikan keluarga yang baik. Pendidikan keluarga yang baik menentukan nilai keluarga, yakni suatu sistem, sikap, dan kepercayaan yang secara sadar atau tidak, mempersatukan anggota keluarga dalam satu budaya. Nilai keluarga juga merupakan suatu pedoman bagi perkembangan norma dan peraturan yang terdapat dalam keluarga (Murwani & Setyowati, 2007). Literasi dalam konteks nilai keluarga ini adalah salah satu elemen penting dalam pembangunan keluarga, salah satu contohnya adalah untuk meningkatkan taraf hidup, mengeluarkan keluarga dari jerat kemiskinan. Dasar pembelajarannya adalah pengalaman dan pengetahuan masing-masing keluarga tersebut sehingga praktiknya tidak bisa diseragamkan.

Menjadi keluarga literat adalah menumbuhkan gairah belajar dan mengembangkan pengetahuan dalam keluarga. Orang tua dan anak sama-sama belajar. Sumbernya adalah pengalaman dan pengetahuan yang tumbuh di keluarga masing-masing. Jadi, tak perlu itu pengotakan. Semua latar belakang keluarga: keluarga petani, keluarga pedagang, keluarga nelayan, keluarga seniman, keluarga akademisi, selalu bisa menjadi keluarga literat. Orang tua dan anak sama-sama literat.
Salam literasi keluarga!


Daftar Pustaka
Barton, D., M. Hamilton, & R. Ivanic. (2000). Situated literacies: reading and writing in context. New York: Routledge.

Dewayani, Sofie & Pratiwi Retnaningdyah. (2017). Suara dari marjin: literasi sebagai praktik sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ki Hajar Dewantara. (1961). Ilmu pendidikan. Yogyakarta: Taman Siswa.

Lestari, Sri. (2012). Psikologi keluarga: penanaman nilai dan penanganan konflik dalam keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Group.

Murwani, Arita & Sri Setyowati. (2007). Asuhan keperawatan keluarga. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press.


Tulisan ini diposting juga di:
https://www.kompasiana.com/simurai/5d92bcea097f3645ae537242/keluarga-literat

0 comments: