Stay Paranoid

Kurasa ini bukan ide baru, tapi aku sungguh tak bermaksud untuk tidak berpikir orisinal. Aku sendiri tak tahu pasti siapa yang telah mengatakannya. Kadang kudengar itu pada dialog film, kadang orang-orang yang kukenal membicarakannya, tapi kadang juga itu seperti muncul dari pikiranku sendiri sebagai hasil dari pengalamanku. Ini bukan semacam kutipan, ini hanya buah pikir, sesuatu yang sifatnya universal, siapa pun bisa memikirkannya. Tapi, kalian boleh tidak sepakat.

Jadi, menurutku:
"Musuh terbesar manusia adalah rasa takut. Dan, ketakutan terbesar manusia adalah ketidakpastian."

Uh, terdengar menyeramkan, bukan? Mungkin di masa lalu aku terlalu banyak membaca Nietzsche. Mungkin juga pada kenyataannya aku adalah seorang yang penakut. Tapi, pernyataan itu murni hadir dari kesadaranku, dari pergulatan selama beberapa lamanya ini antara aku dan diriku sendiri. Ketakutan dan ketidakpastian adalah teror.

Stay paranoid
Pada akhirnya aku akan terbiasa hidup dalam paranoia. Kenyataannya, hidup tak hanya bisa dinikmati dengan cara kemapanan biasa. Ada saatnya itu hanya berupa pencapaian demi pencapaian yang kecil saja, seperti berhasil melahirkan, menyetir kendaraan Jakarta-Kuningan, membayar utang, menyelesaikan kuliah. Kenikmatan hidup dalam teror (baca: ketakutan dan ketidakpastian) ada pada kemampuan beradaptasi dan berimprovisasi dalam menghadapi semua itu. Berhasil melalui suatu tahap adalah kenikmatan tersendiri. Lagi pula, ini belum terlalu parah, aku tidak hidup di negeri perang.

Stay paranoid tampaknya akan bagus karena menjagaku terus berdoa tanpa putus. Seperti kusadari, aku dan kehidupan religius tak terlalu dekat. Meskipun keadaan ini tak mudah, tapi mendekati sesuatu yang tak kasatmata juga bukan persoalan gampang. Aku tidak berniat menjauh, tapi situasi menjadi berbeda sekarang. Ketakutan dan ketidakpastian hadir dalam hidupku sebagai penyambung. Setidaknya, aku menyadari semua ini. Aku menjaga diriku untuk tetap sadar.

Sekali lagi, stay paranoid.



0 comments: