Michelle dan Kehidupan Ini

Setiap ada kesempatan, rasanya ingin selalu mengajak-ajak Michelle ke mana pun aku berkegiatan. Kutahu dia anak yang tangguh dan sangat mencintai kehidupan. Dia seorang pembelajar dan pintar. Membawanya ke mana-mana akan menyenangkan dia, apalagi ke kampus tempatku berkuliah. Aku tahu dia sangat menyukai itu. Dia suka pada aktivitas ibunya belajar.

Aku jadi ingat, jauh sebelum tiba pada kesempatan ini, bahkan membayangkannya pun tidak, aku pernah mengajak Michelle yang masih berupa janin dalam kandungan berusia enam bulan ke perpustakaan di kampus tempatku kini berkuliah. Perpustakaan itu bergedung baru. Aku yang juga menyelesaikan studi sarjana di sana belum pernah ke perpustakaan dengan gedungnya yang baru. Maka, hari itu adalah perdana. Aku bersama Ney tiba di stasiun kereta dan berjalan kaki ke sana. Tujuanku adalah mencari buku untuk referensi tulisan tentang naskah kuno yang sedang kukerjakan di kantor.

Ketika mampir ke minimarket sebelum berangkat, kami bertemu tetangga depan rumah. Dia bertanya, kami mau ke mana, sambil melihat-lihat perutku yang mulai kelihatan besar. Ney menjawab, ke perpustakaan kampus, mencari buku. Mungkin pikir tetangga itu, badan sudah besar, jalan-jalan, kok, malah ke perpustakaan, cari buku. Memangnya tidak ada tempat lain yang lebih cocok untuk didatangi saat akhir pekan? Tapi, niat pergi ke sana kuat sekali, meskipun pada akhirnya buku yang dicari tak ketemu dan tulisan pun hingga kini belum rampung. 

Kalau dipikir sekarang, apa ini yang namanya "bawaan orok"? Bisa-bisanya aku yang aslinya pemalas ini, ditambah badan yang terasa semakin berat, memutuskan pergi ke perpustakaan di hari Sabtu dengan alasan mencari buku. Seolah itu pekerjaan yang sangat penting dan tidak bisa ditunda lagi. Ditambah, semakin dipikir-pikir sekarang, apakah itu sebenarnya suatu pertanda dari alam? Sebab, selang kurang lebih sembilan bulan kemudian, aku malah berkuliah di kampus tempat perpustakaan itu. Menariknya lagi, studi yang kuambil untuk gelar master ini adalah tentang naskah kuno, yaitu filologi, persis seperti tujuanku pergi ke perpustakaan saat hamil Michelle enam bulan itu, mencari buku tentang naskah. 

Bawaan orok di hari Sabtu itu menjadi petunjuk bagi kehidupanku di hari ini.

Michelle membawaku ke sini. Iya, karena memang melahirkan dia ke dunia, membuatku galau luar biasa sebagai ibu pekerja. Tawaran beasiswa pendidikan menjadi penyelamat kegamanganku. Tanpa pikir panjang, kuambil kesempatan itu. Berkuliah membuatku cuti dari pekerjaan yang berarti jelas: aku punya banyak kesempatan untuk bersama Michelle ma belle. Dia benar-benar telah menggiringku ke sini. Michelle menginginkanku begini.

Karena itu, kupikir, Michelle juga menginginkanku membawanya ke mana-mana, terutama ke kampus tempatku berkuliah. Barangkali ini cara dia untuk bisa diajak main ke perpustakaan dengan danau dan pohon besar. Sebab, diam-diam, dia ingin tahu, bagaimana rasanya belajar itu. Dia ingin sejak dini mengenal mimpi dan cita-cita. Dengan begitu, dia punya banyak waktu untuk meraih impian. Dia tidak ingin sia-sia. Dia ingin belajar, dia ingin berlari, dia ingin terbang...

Michelle (15 bulan) di perpustakaan kampus.
Maka, ketika suatu hari perpustakaan kampus menerima kunjungan teman kecilku itu yang bersama ayahnya datang menjemputku usai kuliah, kulihat dia begitu bahagia. Beberapa kali saat usianya semakin bertambah, semangatnya ketika berada di kampus semakin menyala. Aku perhatikan sekali itu. Tampaknya dia suka. Aku tahu dia suka.

Karena itu, lagi, ketika kemarin persis aku tidak jadi mengajak dia ke kampus, rasanya aku menyesal sekali. Kemarin itu aku hanya ada satu kuliah di pukul satu. Aku berencana mengajaknya dengan membawa serta adikku untuk menemani Michelle. Sayangnya, Ney tak mengizinkan. Panas cuaca, katanya. Ya sudah, aku berangkat tepat saat Michelle akan tidur-siang-yang-terlambat dengan melepas paksa puting payudaraku dari mulutnya karena supir ojek keburu datang. Kupikir dia akan benar-benar tidur setelah itu. Di kampus, Ney mengabari kalau anakku tercinta tak tidur juga sampai susu habis sebotol. Akhirnya mereka pergi membeli mainan. 

Sayangnya, sore hari kudapat kabar dari Ney kalau mainan itu sudah rusak lagi. Diceritakan, Ney yang agak kesal kemudian membanting mainan itu hingga hancur dan membuat Michelle menangis lama. Kata Ney, ia sempat mendiamkan Michelle dengan tangisan begitu saja. Memberi dia pelajaran, kata Ney, sebab ini kali kedua mainan barunya langsung rusak seketika. Hatiku miris mendengarnya, membayangkan Michelle ma belle menangis tersedu-sedu melihat mainan barunya hancur, sementara tak ada yang memeluk dia saat itu. Meskipun ketika aku tiba di rumah keadaan sudah membaik, Ney sudah bermaafan dan kembali bersayang-sayangan dengan Michelle sementara anaknya sedang bermain dengan kucing, tapi aku merasa sangat kecewa. Lantas, aku menyesal kenapa tadi tak mengajak saja Michelle ke kampus sehingga tak akan ada tragedi mainan dihancurkan. Tengah malamnya, Michelle muntah sampai pagi, membuatku semakin merasa bersalah. Untung muntahnya tak berlanjut. Hari ini dia tampak damai. Tidur siang tenang dan lama. Pagi hari aku ajak dia berkunjung ke rumah temannya yang berusia lebih tua beberapa tahun dari dia. Michelle kelihatan senang sekali. Sorenya, Ney membelikan ia mainan lagi. Kurasa, Ney merasa bersalah juga, tapi dia sok teguh pendirian.

Lalu, kubilang sama Ney: 
Michelle suka ikut ibunya ke mana-mana. Aku juga bertekad untuk selalu membawa dia ke mana-mana sebisaku ketika sedang ada kesempatan, terutama saat masa kuliahku ini. Setelah kembali masuk kerja nanti, waktuku bersama Michelle tak akan banyak. 
Anak kita ini sudah besar. Usianya sudah hampir 1,5 tahun. Dia sudah suka kehidupan sosial. Dia senang aktivitas yang beragam. Michelle anak yang pintar. Dia selalu ingin tahu banyak hal. Tolong, jangan selalu mudah melarangku pergi membawa-bawa Michelle. Aku memang begini, seperti ibu yang tidak bisa mengurus anak, kekanakan, recet, kurang dewasa. Tapi, aku tetaplah seorang ibu yang punya nalurinya sendiri. Aku bisa belajar dan selalu belajar. Aku bisa menjaga anakku. Aku bisa bersama-sama dia berdua saja. Jangan terlalu khawatir. Aku bisa baik-baik saja walau hanya berdua dengan Michelle.

Mudah-mudahan besok dia benar-benar "sembuh", lupa akan lukanya kehilangan mainan baru. Lupa bahwa ibunya dengan sengaja tidak mengajak dia ke kampus, padahal kesempatan itu ada dan dia ingin sekali ikut. Mudah-mudahan setelah ini aku akan menjadi ibu yang semakin tangguh lagi, semakin kokoh dengan diri sendiri. Dengan begitu, Ney, suamiku, tak akan terlalu banyak mengkhawatirkanku lagi, membuatku semakin percaya diri. Mudah-mudahan, Michelle anak kami tumbuh cemerlang, menjadi perempuan yang kuat dan baik hati. 

Jangan pernah lelah menjaganya, ya, Ney. Terima kasih.

... setelah ini, lupa.


2 comments:

Khoe20.blogspot.com mengatakan...

Aamiin. Dariku Ivan dan ooy. Terimakasih Michelle. : )) Semoga michelle menjadi anak yang cerdas.

arnellis mengatakan...

Michelle cepat banget besar yaaa... Aku doakan banyak hal baik buat Michelle. Terutama jadi anak cerdas! *kisskiss