Kabut

Kapan terakhir lihat kabut? Itu, awan lembap yang melayang-layang dekat permukaan tanah. Aku baru saja, dua minggu yang lalu, di depan tempat tinggalku sendiri. Itu, sih, yang kenapa akhirnya melihat kabut jadi sesuatu yang spesial banget.

"Morning Mist in The City"
Kalau enggak lagi jalan di daerah pegunungan atau sedang pulang kampung ke Kuningan, kabut jarang banget menampakkan diri. Sebelum dua minggu lalu itu, terakhir aku ketemu kabut adalah pas mau lahiran anak. Berarti sekitar 13 bulan yang lalu. Aku berada di Kuningan dan akan melahirkan di rumah bidan yang letaknya di kaki Gunung Ciremai. Beneran di kaki Gunung Ciremai! Nama daerahnya Cisantana. Jalan di situ biasa dilalui para pendaki yang mau ke puncak Ciremai. Ceritanya seru banget!

Jadi, dari dini hari, perutku sudah mulai kontraksi. Pukul 8 pagi, aku mau cek ke rumah bidan diantar pamanku naik motor. Kebetulan, suami masih di Bogor—dan pada akhirnya melewatkan proses kelahiran anaknya. Ketika itu langit mendung dan agak gerimis. Di sepanjang jalan, kami bermotor dengan menerobos kabut. Kontraksi ketika itu masih berjarak sangat panjang dan aku sedang tidak merasakan sakit perut, mulas-mulas sedikit saja. Aku sempat merekam situasi perjalanan pagi itu menuju rumah bidan (usai menulis ini, kucari berkas videonya, dan ternyata masih ada, tapi tidak kuunggah, malas, ngeberat-beratin aja). Kabut yang melayang-layang, pepohonan di kanan kiri jalan, rumah-rumah dan perkebunan yang mengabu terhalang awan. Gerimis turun sedikit. Anginnya dingin dan menyenangkan. Aku terharu sekali pada suasana pagi itu. Aku, si Ibu hamil yang sedang kontraksi dan akan melahirkan, menuju rumah bidan di kaki Gunung Ciremai bersiap menghadapi persalinan. Aku bukan orang desa, aku tinggal di wilayah yang bisa dikatakan kota—karena itu, pengalaman ini jadi berkesan banget. Namun, aku akan melahirkan di kampung, sederhana pula, hanya di rumah bidan yang sudah tua yang kaya pengalaman dan berhasil memutar bayiku dari posisi melintangnya—itu sungguh pengalaman yang membuatku haru! Rasanya… aku seperti direstui. Anakku seperti benar-benar terlahir dari alam ini, dari perut bumi, bukan rahimku sendiri. Oh, megahnya perasaan itu…

Ya, itulah terakhir aku ketemu kabut, bahkan menyatu dengannya, sambil membawa anak dalam kandungan, mengiring kelahiran anak manusia.

Sebelum kemudian, dua minggu lalu aku ketemu kabut lagi, di depan tempat tinggalku sendiri. Tampaknya bukan sebuah kebetulan kalau akhirnya aku dan keluarga tinggal di rumah ini—milik sebuah keluarga yang kami sewa. Suasananya cukup mendukung gambaran lingkungan tempat tinggal yang aku dan suami harapkan. Bertetangga, tapi tidak saling mencampuri. Di depannya tidak ada rumah, tetapi tembok yang membatasi area perumahan dengan hutan dan sungai. Masih asri, sangat teduh dan segar. Dan, yang terpenting, privasi terpenuhi.

Ya, ada semacam hutan di belakang perumahan ini karena tanahnya masih ditumbuhi pepohonan yang lebat. Sejauh mata memandang hanya ada warna hijau yang luas. Kadang pemandangannya seperti kalau kita bermalam di vila-vila di Puncak. Tidak berlebihan, itu memang kenyataan. Aku sendiri hampir tak percaya masih ada perumahan seperti ini yang per unitnya tidak dibanderol dengan harga di atas 1 miliar. Keren.

Karena itu, kabut tampaknya masih bisa muncul di sini. Masih banyak tanah dan uap air dari pepohonan. Pendinginan udara masih mungkin terjadi, dan awan-awan lembap masih bisa melayang-layang dengan bebasnya. Aku ketemu kabut, lagi, dan membuatku haru juga, karena ia muncul di tengah-tengah kota. Seru, ya!

Kabut di Suatu Pagi Depan Rumah
Entahlah, kabut itu aneh. Aku suka sama kabut. Misterius, dingin, tapi sekaligus hangat. Menyejukkan dipandangnya, teduh, bikin hanyut ingin terbang dibawa kabut.


Berhubung aku jarang ketemu kabut, maafkan kalau jadi agak norak dan euforia. Setiap orang bebas punya cerita, loooh… 

0 comments: