Kami melalui jalan-jalan yang sudah sangat kukenal. Senja baru
lewat dan langit sedang berganti gelap seiring tetes demi tetes air yang turun
dari langit. Aku takut hujan keburu mengguyur kota sehingga kemudian berdoa
dalam langkah, “Ya Tuhan, semoga jangan dulu hujan,” karena kutahu, temanku ini
sedang khawatir sekali. Berkali-kali dia bilang badannya tak enak sementara
kedua anaknya yang masih kecil-kecil menunggu di rumah. Dia tamu di jalan ini,
sedangkan aku seperti tuan rumah.
“Capek
sekali ya, hari ini, tapi aku puas rasanya. Baru kali ini aku merasa seperti
benar-benar bekerja keras,” celoteh temanku di dalam angkutan umum yang membawa
kami melewati perbatasan kota dengan kabupaten dalam hujan deras. Aku tersenyum
sambil terbayang apa saja yang telah kami lakukan seharian ini di tempat itu.
Istana
Kepresidenan Bogor, di sanalah kami berada seharian ini. Bersama lima rekan
pustakawan lainnya, kami mendapat tugas untuk mengolah koleksi perpustakaan salah
satu istana milik negara yang terletak di areal paling menawan pusat kota hujan.
Aku menyambut gembira tugas ini dengan alasan, seperti beberapa pegawai
lainnya, ingin keluar sejenak dari rutinitas kerja di kantor. Memang tak ada
bedanya sama sekali apa yang kami kerjakan di sini dengan di kantor—karena
memang inilah pekerjaan kami sebagai pustakawan yang ditempatkan di bidang
pengolahan bahan perpustakaan, tapi setidaknya, kami bekerja di tempat yang
berbeda. Kami tidak melewati jalan yang sama saat keluar rumah untuk bekerja,
kami duduk di kursi yang berbeda, merasakan suasana baru, hitung-hitung bisa sambil
jalan-jalan, dan terutama bagiku, bisa berangkat saat langit sudah
terang—bukan gelap pagi buta seperti biasanya karena jarak rumahku dengan
Istana Bogor hanya sekitar 45 menit dengan angkutan umum.
Bekerja
ke Kota Bogor sama seperti berjumpa dengan sahabat lama bagiku. Di kota
inilah aku menghabiskan masa SMA; berjalan-jalan mengelilingi sudut kotanya
adalah hal yang sudah tidak asing kulakukan, bahkan hingga sekarang, aku masih sering mengunjungi kota ini bersama Ney sebab Bogor sendiri seperti rumah
bagi kami. Belanja di factory outlet,
nongkrong di kedai-kedai kopi bersama
teman menikmati hujan, atau sekadar duduk-duduk di Kebun Raya Bogor adalah
kesenangan yang bisa mengisi jiwa kami. Maka, ketika memandangi bangunan putih
menjulang di seberang kolam kebun raya pada suatu siang entah kapan saat sedang
duduk-duduk bersama Ney, aku hanya berpikir, “Istana itu seperti tertanam di
tanah ini, menancap, menumbuhkan akar yang rambatannya hingga menyatu dengan
akar pohon terkokoh di kebun raya. Ia tampak sangat perkasa, cantik, namun
sendirian dan mungkin juga kesepian. Adakah kehidupan di situ? Aku benar-benar
ingin tahu,” hingga sang waktu pada akhirnya membawaku ke sana.
Tepat
di hadapan tempat ketika aku dan Ney duduk-duduk di kebun raya pada suatu siang
entah kapan itu, sebuah kolam menjadi batas antara pikiran dan kenyataan. Di
seberang itu, di sebelah istana yang kupandangi, adalah museum Istana
Kepresidenan Bogor tempat kami para pustakawan bekerja mengolah koleksi
perpustakaannya: berupa buku-buku lama maupun baru yang jumlahnya hanya sekitar
1.500 judul. Di dalam bangunan museum yang tak hilang nilai kekunoannya ini,
terdapat sebuah ruang kamar yang berisi rak-rak berjajar buku yang kami ketahui
sebagai ruang perpustakaan (di sini, ruang perpustakaan ada di dalam museum).
Ada sebuah meja dan kursi kerja di samping pintu dan kami hanya perlu melewati
rak-rak berjajar buku itu untuk sampai di “kantor baru”. Di sinilah ketujuh
pustakawan bekerja mengolah koleksi perpustakaan di Istana Kepresidenan Bogor
seharian tadi, pekerjaan yang membuat temanku merasa sangat bekerja keras dan
puas.
Di balik jendela itu para pustakawan bekerja. |
"Kantor baru". |
Buku-buku berjajar di rak, Istana Bogor. |
“Oke, mana buku yang mau diolah?”
aku datang pagi itu lebih siang dari beberapa rekan lainnya. Kegiatan
pengolahan telah dilakukan. Satu per satu buku diturunkan dari raknya.
Bertumpuk di sisi kanan dan kiri meja, sudut dan tepi lantai, semuanya menunggu
giliran diambil oleh sebuah tangan milik pustakawan. Ketika jari-jari bergerak
membuka sampulnya, sepasang mata memindai kata yang tertulis di halaman judul,
dan sebuah informasi pada akhirnya tereduksi menjadi katalog di lembar kerja, buku-buku
itu hanya bisa sabar dan setia. Mungkin aku tampak seperti samudra dan mereka
ibarat sampan nelayan yang terbebas jiwanya dari rasa apa pun di tangan alam.
Dibolak-balik halaman per halaman, diukur, dibaca, dipikir-pikir, dihitung,
dicermati. Ah, buku-buku itu tabah sekali, padahal bahkan usia mereka lebih tua
dari usiaku. Kadang, diam-diam, aku sering kagum pada buku-buku, dalam hal ini bukan
pada isinya, melainkan pada hakikat buku itu sendiri.
Aku
rasa, sebagai sesuatu yang berharga, buku itu terlalu pendiam. Buku paling
informatif sekalipun, ia tidak pernah menuntut ketika bahkan tak ada seorang
pun menyentuhnya. Kurasa karena sifatnya inilah buku-buku itu pada akhirnya
tampak bagai sampan nelayan di tangan samudra pustakawan. Bukan karena mereka
tak berdaya sebab dunia sendiri tak tahu kekuatan apa yang mampu dikandung
sebuah tulisan dalam buku, melainkan karena mereka sangat menikmati pertemuan
ini, antara dirinya dan pustakawan. Mereka menikmati sentuhan itu, mereka
merindukannya, apa yang dilakukan pustakawan terhadapnya: membuatkan katalog
bagi dirinya, mengklasifikasikannya berdasarkan subjek, membubuhkan label.
Kurasa, tak mudah menjadi buku, apalagi jika ia sudah sangat tua dan rapuh,
sementara kerinduan terus menjejal. Ia berharap seseorang akan mengambilnya—sebagaimana
yang dilakukan pustakawan, lalu membuka halaman tubuhnya dan mulai membaca,
walau sekadar judul!
Koleksi yang sudah dilabel. |
“Pak Belalang : Suatu Cerita Humor Melayu,”
sebuah judul baru saja diserukan oleh seorang rekan pustakawan. Kulihat ada buku
di tangannya.
“Itu,
kan, bukunya Bu Indra,” sambungku menyebut sebuah nama dosen sewaktu kuliah
dulu. Aku ingat sekali buku ini sebab baru beberapa bulan lalu, tepatnya akhir
tahun kemarin, ia kubaca habis-habisan selama dua minggu lebih untuk
kepentingan penulisan. Ironisnya, sang Penulis meninggal dunia beberapa bulan
kemudian, tepatnya seminggu kemarin. Aku dan seorang rekan ini kebetulan satu
almamater. Kami tentu mengenal Ibu Maria Indra Rukmi, salah satu filolog
Indonesia, yang pernah sama-sama mengajar kami.
“Oh,
iya…” jawabnya dengan mata ke buku, mungkin sambil menemukan nama itu. Ia lalu
terdiam dan menyahut lagi seperti teringat sesuatu, “Iya, waktu Bu Indra
meninggal itu, paginya aku ke ruang duka di RS Carolus…” dan, selama beberapa
menit ke depan, perbincangan di meja kerja didominasi seputar kepergian Bu
Indra, sekelumit tentang perkuliahan, dan begitulah memang yang kami lakukan.
Dengan perhatian yang tak pernah lepas dari buku dan lembar kerja, mulut kami
masih sesekali saling berceloteh, yang ringan-ringan saja, tentang ibunya rekan
kantor yang sakit, arti kata dalam bahasa Sunda, nama marga pengarang yang
tidak diketahui, dan masih banyak lagi. Sesekali pula kami rehat barang semenit
untuk minum secangkir kopi yang telah dibuatkan atau melempar pandangan keluar
jendela yang ukurannya tinggi sekali. “Kantor baru” ini sangat menyenangkan
karena sejauh mata memandang yang ada hanya rumput hijau, dedaunan di pohon
rindang, patung-patung perempuan bugil khas zaman Soekarno, dan tentu saja yang
paling autentik dari tempat ini: kijang. Ditugasi lebih lama dari siapa saja
yang ada di sini pun aku mau!
Tersesat di Jalan
yang Benar
Sepertinya
baru kemarin aku mengeluh, bahkan terlalu sering, tiga tahun ini. Kukatakan pada diriku, “Rasanya
lebih baik tersesat di jalan yang benar daripada harus bekerja seperti ini.”
Tak ada seorang pun yang menentangku. Mereka terlalu baik, sampai-sampai Ney
hanya bisa menjawab, “Silakan…” saat aku selalu berujar lantang, “Aku mau
keluar kerja!” Tak ada yang bicara, semua diam, sementara aku mencari-cari pembenaran,
sebuah jawaban.
Hingga
seorang pemandu menggeser tali pembatas Istana Kepresidenan Bogor hari ini seraya berkata, “Ini bukan untuk umum, sebenarnya tidak boleh masuk ke sini.
Tapi, untuk Bapak-bapak dan Ibu-ibu, kami persilakan.” Kami diberi kesempatan untuk memasuki bagian dalam istana dan mulai melangkahkan
kaki masuk ke dalam, “Boleh ambil foto, tapi jangan disebarkan, termasuk ke sosial
media,” lanjut pemandu itu menegaskan.
Lampu-lampu
kristal yang menggantung anggun menyambut kedatangan kami dalam langkah penuh takjub
ke istana. Ukiran-ukiran dan lukisan yang semuanya tampak punya nyawa seakan mengucap
salam, “Selamat datang, Pustakawan.” Aku terenyuh sendiri. Sepasang mata Ratna Sari
Dewi dalam lukisan seperti menghunjam dengan sorotnya yang tajam. Meja kerja
Soekarno itu konon rupanya masih sama dengan sediakala. Aku lalu duduk di satu buah
kursi yang melingkari meja panjang berlatar lukisan “Pesta Pernikahan Rusia” terbesar
yang hanya ada dua di dunia yang di tempat inilah Supersemar dibuat, lalu
menerka-nerka sendiri, siapa kira-kira yang duduk di kursiku ini malam itu.
Dari balik jendela istana |
Seandainya
aku tak duduk terkantuk-kantuk di ruang kelas klasifikasi bahan perpustakaan
kemarin, seandainya aku tak kena serangan virus akibat buku langka berdebu yang
kubuatkan katalognya dua tahun lalu, seandainya tak pernah terpikir olehku, “Uh,
asyik sekali rasanya bisa bekerja di Perpustakaan Nasional…“ mungkin aku tak akan
ada di balik jendela besar sebuah istana yang akarnya merambat hingga ke pohon
tempatku menyandarkan diri pada suatu siang entah kapan itu. Di kebun raya
aku membayangi wajahmu. Benarkah kamu sekesepian itu? Tapi, aku tahu kamu kuat
dan hidup. Dan, kamu akan selalu ada di sini. Menemani. Aku tahu itu.
Aku
berdiri di titik nol Kota Bogor dan menyaksikan tubuhku sendiri yang membelah
menjadi seribu banyaknya. Tiba-tiba aku merasa begitu berharga. Dan aku sangat
bersyukur. Mungkin di sinilah titik balik itu terjadi. Apalah arti keluhan
selama ini, sebab rumah selalu tahu yang terbaik bagi kita. Dialah yang mengantarkan
kita pergi, tapi dia pulalah yang mengembalikan jalan kita. Aku tak perlu jauh
melangkah. Cukup pergi ke kotaku, dan semua jawaban pun terurai…
...
Aku sekarang pustakawan. Secara de facto, aku telah resmi. Sekitar dua bulan lalu tepatnya, dan hari ini, aku seperti mengalami pengukuhan yang semestinya. Malam itu pun aku pulang ke rumah dan beberapa hari sesudahnya kukatakan pada Ney, “Aku merasa sedang jatuh cinta! Ney, aku enggak jadi keluar kerja deh, kayanya…” Dengan lembut dia menjawab, “Asalkan jangan mengeluh lagi.”
Aku sekarang pustakawan. Secara de facto, aku telah resmi. Sekitar dua bulan lalu tepatnya, dan hari ini, aku seperti mengalami pengukuhan yang semestinya. Malam itu pun aku pulang ke rumah dan beberapa hari sesudahnya kukatakan pada Ney, “Aku merasa sedang jatuh cinta! Ney, aku enggak jadi keluar kerja deh, kayanya…” Dengan lembut dia menjawab, “Asalkan jangan mengeluh lagi.”
Jika suatu hari lelah dan bosan dalam bekerja datang melanda, akan aku ingat hari ini. Oh, hatur nuhun, Gusti, Sang Hyang pemberi kehidupan.
Kijang-kijang istana. |
Para pustakawan berfoto. |
April 2014
0 comments:
Posting Komentar