Mengenali Diri Sendiri

Semua ini berawal dari intip foto pasangan yang diunggah oleh sang suami di jejaring sosial Facebook dalam rangka 23 tahun pernikahan mereka. Si suami adalah penulis (tokoh sastra) di Indonesia, sedangkan istrinya saya tidak tahu, namun kemudian tertarik untuk mengetahuinya sebab mendapati wajahnya yang keibuan. (Saya selalu tertarik dengan sosok yang keibuan dan keayahan, lembut.) Saya memberi Like pada foto itu dengan melakukan sesuatu yang lumrah saja dilakukan: berharap bisa seperti mereka kelak, rasa cintanya, kehangatannya, ketegarannya--tentu saja bersama Ney. (Perempuan memang sukanya begini, bukan? Melankolis.) Dari hasil intip itu lalu saya ketemu dengan Bunda untuk Semua dan Ayah untuk Semua.

Soal manusia dengan segala permasalahannya, mulai dari eksistensinya, peran hidup, pendidikan, hubungan dengan orang lain dan keluarga, hingga bagaimana akhir perjalanannya di dunia, kerap menjadi topik yang kami minati sekali untuk diperbincangkan. Ya, saya dan Ney suka sekali berdiskusi, banyak hal, sampai larut, sambil melakukan apa pun di rumah--dengan mulut tak berhenti mengoceh, untuk kemudian teringat besok pagi masih harus beraktivitas, lalu tidur dan berharap ingin cepat ketemu lagi momen untuk mengobrol. Maklumlah, kami sama-sama anak pertama, senang berpikir, banyak ingin tahu, suka belajar, dan punya latar belakang sebagai "anak broken home". Orang tua kami sama-sama sudah bercerai. Dan, tampaknya, hal terakhir inilah yang membentuk kepribadian kami yang "berbeda" dari kebanyakan orang yang kemudian menjadi kecocokan di antara kami berdua. 


Banyak formula hidup telah kami coba, terutama saya, untuk bagaimana bisa tumbuh dengan seimbang di tengah ketimpangan kondisi keluarga. Antipati dengan pernikahan pernah, menghindari keluarga sudah, menjadi freak, pemberontak, tidak mau bekerja di publik, introvert, segala macam bentuk penyesuaian diri telah saya lakukan. Tapi, toh, kehidupan membawa juga saya ke sini. Begitu pula dengan Ney. Pada akhirnya, masing-masing dari kami, pun menempuh "jalan konvensional" sebagaimana yang ditempuh oleh orang-orang terdahulu: menikah, berumah tangga, punya anak, dan kami dihadapkan pada peran yang pernah dilalui oleh ibu bapak kami. Siapkah kami? Ya, mau enggak mau.


Jauh sebelum melaluinya sekarang, kami telah sadar akan sulitnya kehidupan yang kelak kami tempuh, berdasar dari pengalaman mengetahui betapa sulitnya orang-orang tua kami menjalani kehidupan. Mengenal diri sendiri pun belum tuntas, ibu bapak kami, anak-anak manusia itu, mesti dihadapkan pula dengan anak-anak manusia lain yang butuh dikenali dan diasuh. Sebabnya, anak-anak manusia itu berasal dari diri mereka sendiri. Keduanya terikat, sangat erat: orang tua-anak. Ketika mereka belum siap, semuanya akan menjadi sangat rapuh. Sangat. Seperti yang saya dan Ney alami sebagai seorang anak.


Saya telah sampai di titik, bahwa saya tidak menyalahkan siapa pun di antara ibu bapak atas perceraian mereka. Ketika saya jatuh dalam "kegelapan", hancur, limbung, hilang, putus asa, dan "sakit" sebagaimana yang dialami anak-anak korban perceraian lainnya, saya kini ikhlas karena mungkin itu adalah jalan yang harus saya lalui untuk menuju ke kedewasaan saya. Jalan itu memang agak mengerikan dan tidak lumrah. Setiap anak seharusnya bisa tumbuh dewasa dengan jalan yang baik. Tapi, mau bagaimana lagi. Kami harus menerima kenyataan bahwa orang tua kami hanya sepasang anak manusia yang sedang belajar berjalan dan tumbuh, namun mereka tidak mengetahui cara, hingga di satu titik mereka menyerah, bercerailah. Kasihan, ya?


Kini, saya tinggal mengambil hikmah. Bersama Ney, saya mencoba mengelola diri untuk siap menghadapi peran-peran yang menunggu di depan nanti. Saya sadar bahwa kami harus saling membimbing sebab kami tidak mau menjadi ayah yang rugi karena menyia-nyiakan keluarga dan kami tidak mau menjadi ibu yang tidak punya jati diri. Kami harus kuat dan mengenal diri sendiri dengan baik sebelum mampu mengenali anak manusia lain. Kami akan terus belajar untuk itu sambil mempersiapkan kehamilan bagi saya tentunya. :)


Katakanlah, ini adalah pelajaran pertama kami tentang parenting: mengenali diri sendiri sebagai calon ibu dan ayah. Menyadari masa lalu dan kecenderungannya. Melupakan yang buruk tentang pola asuh keluarga, lalu membuat formula sendiri yang tepat. Saya senang mendapat pemahaman ini. 


Semua berawal dari intip foto pasangan suami-istri yang telah membina rumah tangga selama 23 tahun... Semoga mereka senantiasa abadi, seperti juga kami yang sedang menyulam jalan.



1 comments:

Unda Anggita mengatakan...

What a deep thought, Mbak... Eniwei, aku suka template barunya ^^