Mereka
bilang, “Its nice to be important, but its important to be nice.” Kita
mendengarnya klise saja. Padahal, itu mungkin memang benar.
Saya dan Ney
sering memperhatikan, setelah menonton film-film barat, bagaimana pun alur
kisahnya, kami mendapati bahwa kebaikan tetaplah sesuatu yang hendak dimaknai
di situ. Karenanya, kami kemudian tersadar bahwa kebaikan itu sifatnya
universal. Bila kita memakai tolak ukur barat sebagai peradaban yang maju,
modern, dan logis, tapi kenyataannya nilai-nilai kebaikan kerap menonjol dalam
film-film yang dibuat, maka tampaklah di sini bahwa kebaikan, di mana pun,
adalah pemenang.
Kebaikan
itu, sebut saja, senang berbagi, jujur, mau memahami orang lain, apa adanya. Itu
hanya beberapa, adapun penjabarannya bisa lebih banyak dari itu, sangat banyak,
sangat sulit dideskripsikan. Namun, jika kebaikan muncul ke permukaan, kita
hanya tahu, itu adalah kebaikan. Kita cukup mengetahuinya dan merasakan, bahkan
dalam bentuk sikap yang bertentangan sekalipun, yang tidak kita duga-duga.
Uniknya lagi
soal perkara kebaikan ini, saya pikir, kadang bisa tidak bersinergi dengan
sikap yang ditunjukkan. Sebagian orang kadang melakukan sesuatu bukan untuk
tujuan yang sebenarnya. Kadang orang melakukan sesuatu atas dasar norma saja,
mengikuti bentukan yang biasa dilakukan oleh kebanyakan. Kadang orang-orang ini
terlalu artifisial, basa-basi, hipokrit, tapi sebenarnya itu rapuh sekali,
mudah dideteksi. Mau bersembunyi dalam sikap sebaik apa pun yang dianggapnya
benar, tetaplah nilai kebaikannya tidak ada. Sebabnya, kebaikan tidak bisa
dimanipulasi. Kadang kita hanya tahu itu kebaikan. Dan, kita juga tahu, itu bukan
kebaikan. Mungkin benar, setiap orang punya hati, punya naluri, yang pada
dasarnya memang tidak bisa dibohongi.
Mungkin kamu
pernah seperti itu dan saya rasa setiap orang punya pengalamannya
sendiri-sendiri. Jika radar kita kuat soal ini, cukuplah saja. Cukuplah saja
diri kita sendiri yang tahu, mana orang-orang yang tulus melakukan kebaikan
dalam hidupnya dan mana yang hanya berpura-pura—meskipun tak selamanya orang
yang berpura-pura itu juga tetap akan berpura-pura. Ada kalanya ia menjadi tulus
karena kondisi sudah sangat tidak memungkinkannya lagi untuk berpura-pura.
Betapa lelahnya menjadi seperti itu. Dan mungkin benar, hati punya cara
hidupnya sendiri yang bisa bertentangan dengan si empunya. Begitulah bukan,
yang kadang juga kita temukan dalam alur cerita film-film itu? Si jahat
mendadak melakukan suatu hal yang mengandung kebaikan tanpa ia sendiri
menyadari kenapa melakukan itu.
Bagi saya,
kebaikan adalah kesederhanaan dan kebersamaan. Tidak lebih unggul dari yang
lain karena tidak ada artinya jika harus meninggalkan dan berbagi yang seadanya
dipunya ini untuk bisa bersama-sama merasakan. Kebaikan itu menular dan ditularkan,
dari dan kepada siapa pun: pasangan, keluarga, rekan kerja, orang lain. Saya
sedang belajar untuk itu sebab saya mengerti kini, dan pada akhirnya saya akan
mengerti. Kebaikan adalah pemenang.
Saya tidak
akan ke mana-mana. Saya sudah tidak peduli lagi. Saya tetap akan tinggal di sini, meskipun dunia berlari, meskipun
manusia berkejaran, meskipun segalanya saling berhimpit. Mungkin tidak ada
tempat lagi bagi hati untuk berdiri, tapi kita si empunya bisa menciptakannya,
sebuah ruang untuk ia tumbuh dan menjalar, membagi nilai-nilai universal yang
tak akan putus bahkan hingga kehidupan berakhir.
Bukankah
semua manusia sedang merindukan itu?
Terima kasih
atas pencerahan pagi ini. Semoga saya senantiasa diajari.
0 comments:
Posting Komentar