Ketika Merasa Terjebak dalam Simbol

Seperti sebuah pohon, sebagai manusia saya pun tumbuh dan berkembang. Saya mencuat ke atas dan menjadi semakin kekar. Akar saya menjalar. Saya mengokoh, bersama tubuh dan jiwa. Ranting-ranting pemikiran menghasilkan pucuk-pucuk daun perjalanan, memekar, memunculkan bunga dan bebuahan. Menjadikan saya semakin rindang. Membuat saya menjadi evolusi itu sendiri.

Saya adalah jiwa yang terjebak. Ya, harus saya akui. Mungkin saya tengah kalah, tapi selalu ada yang berikutnya jika sekali saja kita sudah pernah memberontak. Saya hanya sedang menanti, kapan waktu yang tepat untuk melakukannya lagi. Dan itu akan menjadi yang terakhir sekaligus yang terhebat karena ia membuka jalan pembebasan yang sesungguhnya buat jiwa. Tak akan ada lagi jebakan-jebakan simbol dan tak akan saya ulangi permainan yang sama dengan sebelumnya. Saya janji. Maka, saya tak boleh gegabah kali ini. Pemberontakan nanti harus benar-benar apik dan cantik.

Pohon yang sabar memberi keteduhan, karena hanya pohon-pohon besar dan rindang yang mampu melakukannya, dan untuk menjadi kokoh perlu waktu yang lama. Puluhan tahun, ratusan, bahkan ribuan. Tapi, tak mungkin bisa saya mencapai umur segitu. Ah, lagipula saya bukan pohon. Tak bisa saya sesabar ia. Paling tidak, saya sudah mencoba melalui perjuangan yang sama seperti sebuah pohon. Bahwa kesabaran dalam kebertahanan adalah sebuah proses yang menguatkan. "Kalau mau menjadi sepertiku, belajarlah menjadi sepertiku. Biar waktu nanti yang akan menunjukkan." Memang tidaklah mudah, meskipun bukan sulit.

Saya katakan kepadanya berkali-kali, lebih banyak dan banyak lagi dari yang ia dengar atau ia tahu, "Bawa aku..." Karena hanya ia yang mengerti, bagaimana saya harus menjadi sebagai manusia yang terlahir di muka bumi ini. Lebih banyak mengerti apa yang bahkan saya tidak menyadarinya. Lebih banyak mengharap bagi jalan hidup saya yang terbaik. Dan, ia adalah tiket saya.

"Lets, Ney!"  


0 comments: