Saya suka gemas sendiri kalau bangun di subuh
hari saat langit masih gelap. Masalahnya, saya suka menjadi gelisah enggak
jelas kalau tiba-tiba mendapati langit sudah terang lagi. Rasanya saya enggak
rela... banget. Saya enggak mau subuh cepat-cepat berlalu. Saya ingin subuh itu
lama.. abadi.. dalam nuansanya yang sepi, sejuk, keungu-unguan, ketika jiwa-jiwa masih asyik di peraduan, belum gaduh, belum eror. Peralihan subuh
ke pagi itu adalah suasana paling indah buat saya dari beberapa suasana waktu
yang ditawarkan setiap harinya. Kalau berhasil bangun di subuh hari, terutama
saat weekend, rasanya saya cuma ingin
duduk sambil menyeruput kopi hangat, membuka jendela lebar-lebar atau berada di luar, mendengarkan Peter White atau Earl Klugh dan memandangi langit,
menyerapi sejuk di sekitar. Saya cinta subuh hari sangat!—sekalipun harus
berada dalam keadaan tergesa berangkat kerja.
Tetapi, masalahnya kemudian, momen
peralihan subuh ke pagi itu terjadinya sangat singkat, mungkin hanya satu jam
kurang, benar-benar pendek rentang waktunya. Langit terang bikin saya gelisah,
rasanya seperti dihadapkan pada realitas. Paket takdir apa yang dipersembahkan
langit untuk saya seharian nanti?
Lain dengan subuh hari, ia seperti selimut
alam yang melindungi saya dari hiruk-pikuk dunia. Subuh hari menjaga saya.
Subuh hari seakan membawa saya ke suatu tempat yang tak terjamah oleh gravitasi
bumi. Saya seperti diungsikan ke alam penciptaan kisah-kisah. Di sana
mimpi-mimpi diracik, cita-cita dikultuskan. Saya seperti dibawa jauh... sekali
dari tanah pijakan ini, dibawa melangit, dicumbui subuh hari, dimanjakan,
disayang-sayang, dicandai, ditransferi energi.
Saya terlahir dari rahim perempuan di
subuh hari, entah di bagian mana hari, saya akan menutup usia ini. Mungkin di
senja, mungkin di malam...
0 comments:
Posting Komentar