Green Tea Latte, Hikayat Indraputra, dan Rumah Puspa

Membaca disertasi filologi malam-malam adalah kegiatan baru di tahun ini. Di antara kantuk, lelah seharian dengan aktivitas rumah tangga--mengurus dan menemani anak, adalah perjuangan sendiri untuk masih sempat menyisakan waktu berkutat dengan tugas kuliah. Maka, tak ada salahnya untuk sekadar selingan, mengandai-andaikan diri, melepaskan dahulu dari pikiran apa yang harus dianalisis dari disertasi ini dengan membaca sebuah prakata dari penulisnya.
... and my husband, Mulyadi, to whom I dedicate my work, deserve my heartfelt appreciation for their blessings; love, great tolerance and understanding.

Membayangkan, bahwa suatu hari saya menuliskan hal yang sama untuk mengawali tulisan buah pikir saya dengan mencantumkan nama suami yang berbeda dengan yang di atas tentu saja dan sebuah nama lainnya milik anak kami. Manis sekali, semacam bentuk katarsis atas perjuangan di balik proses berkaryanya. Tak ada yang benar-benar bisa disebut pencapaian di dunia ini, tapi itu mungkin akan menjadi sesuatu yang "paling pencapaian" dari perjalanan hidup saya. Sesuatu yang mempunyai nilai, untuk diri saya, yang saya lekatkan kepada keluarga saya, dan juga bisa bermanfaat untuk orang lain. Saya kemudian senyum-senyum sendiri, sambil minum green tea latte, dan mulai membaca Hikayat Indraputra: A Malay Romance. Karya saya juga nantinya akan menjadi koleksi banyak perpustakaan di dunia. *Diaminin notebook.

Itu sekadar selingan, yang sebenarnya adalah menulis (baca: ngeblog) menjadi kegiatan langka di tahun ini. Kepadatan energi mengurus anak mengurangi minat saya menulis. Ketika ada kesempatan, yang saya pikirkan cuma tidur, tidur, dan tidur. Padahal, menulis itu butuh keterampilan, otak pun harus diasah kalau mau lancar berpikir, dan semua itu saya butuhkan untuk menghadapi dua tahun ke depan menjalani studi filologi. Blog bisa menjadi wadah, tapi sekarang saya bahkan harus terjun langsung ke lapangan, enggak cuma bermain-main lagi di wilayah perasaan, iseng-iseng.

Hikayat Indraputra cuma salah satu dari yang membuka babak baru dalam hidup saya. Sebelumnya telah ada Puspakrema dan Scribes and Scholars sebagai suguhan pertama. Tidak enak, tapi saya butuh karena lapar--atau karena memang saya tak punya pilihan. Entahlah, jadi saru batas-batas itu: kebutuhan, pilihan, takdir sajalah. Namun, yang jelas, keberadaan saya pada waktu, ruang, cara hingga seperti yang sekarang ini, tentu adalah perjalanan sendiri yang sukar lagi dipilah-pilah, apakah ini takdir, keinginan, keterpaksaan, kebutuhan?

Saya kuliah lagi, filologi, beasiswa, di tengah-tengah kegalauan meninggalkan anak yang masih bayi hampir lebih dari setengah hari setiap minggunya. Seorang kepala di kantor datang kepada saya dengan penawaran tersebut. Tanpa pikir panjang, setelah dapat izin Ney, saya ambil. Bukan semata ilmu filologinya yang kebetulan saya ada ketertarikan juga, melainkan lebih kepada kebutuhan untuk menjadi ibu yang punya cukup waktu mengurus anak. Ketika kuliah, saya akan dibebastugaskan selama dua tahun. Artinya, saya enggak ngantor. Saya cuma kuliah. Tujuan saya yang utama, mungkin, adalah itu.

Namun, semua ini jelas bukan tanpa konsekuensi. Di luar itu, rumah puspa sold, sebuah masalah lain yang pelik dan cukup meningkatkan stresor. Bukan apa, proses yang sebenarnya mudah ini menjadi rumit hanya karena masalah yang sebenarnya sangat sederhana, tapi juga tidak sesederhana itu. Kesalnya bukan main, bikin saya tak sepercaya diri sebelumnya, dan tentu saja menyita lebih banyak lagi pengorbanan di sana sini. Memang benar, perubahan harus manusia sendiri yang buat, bukan?

Banyak yang baru, saya tahu, di depan saya, menjadi booster hidup dan pengharapan. Tapi, bagaimana pun, proses tetaplah yang menentukan kualitas diri kita. Hasil akhir adalah sebuah kepastian, sementara hidup yang sesungguhnya ada pada proses. Saya cuma butuh kekuatan dan mungkin waktu semacam ini untuk merekonstruksi pikiran, perasaan, hidup. Bahwa pada setiap masalah, di antara laporan Hikayat Indraputra dan penjualan rumah puspa, saya masih bisa menikmati green tea latte; mensyukuri perjalanan, memaknai sebuah keberadaan, menciptakan ketenangan.

Seperti kata Kapten Jack Sparrow di film Pirates of The Caribbean:
The problem is not the problem. The problem is your attitude about the problem. Do you understand?
...  

0 comments: