Belajar dari Maiyah bersama Cak Nun

Saya kenalan dengan Maiyah pertama kali pada sekitar satu tahun yang lalu atau lebih. Ceritanya, saya sedang mengolah buku rutin untuk dilayankan ke bagian layanan perpustakaan. Seperti biasa, kalau menemukan buku yang sekiranya menarik dan kebetulan itu jatahnya buku yang sedang saya olah, tanpa pikir panjang langsung saya bawa pulang (baca: pinjam) saja untuk dibaca. Kali ini buku yang menarik perhatian saya itu adalah tentang buah pikir seorang tokoh yang mungkin bisa dikategorikan sebagai cendekiawan di Indonesia: Cak Nun (Emha Ainun Nadjib). Tidak ditulis sendiri oleh sang tokoh, buku berjudul Spiritual Journey: Pemikiran & Permenungan Emha Ainun Nadjib ini menjelaskan hasil pemikiran Cak Nun mengenai banyak hal melalui apa yang ditangkap oleh si penulisnya, Prayogi R. Saputra. Di sinilah saya kemudian kenalan dengan Maiyah. Sebabnya, hampir seluruh hal yang diungkapkan pada buku ini bersumber dari Maiyah--si penulis seolah bertindak sebagai "notulis" dalam hal ini.

Sampul buku Spiritual Journey: Pemikiran & Permenungan Emha Ainun Nadjib
  
Maiyah adalah nama sebuah pertemuan semacam pengajian--namun ini lebih mirip dengan sebuah forum diskusi ketimbang acara keagamaan, setelah saya menonton video YouTube-nya baru-baru ini--yang dipimpin oleh Cak Nun. Maiyah dapat dilangsungkan di mana saja sesuai agenda (Yogyakarta, Malang, Jakarta) dan dihadiri oleh banyak peserta (jemaah) yang bisa berasal dari seluruh Indonesia. Setiap penyelenggaraan Maiyah biasanya disertai dengan permainan musik oleh KiaiKanjeng, grup musik gamelan yang digawangi oleh beliau pula. Biasanya Maiyah ini dilangsungkan pada malam-malam, berjam-jam, hingga dini hari, orang-orang duduk meriung dengan Cak Nun di panggung bersama beberapa orang, sambil merokok, berguyonan, bercerita tentang tuhan. Sekilas, ini tampak jauh sekali dari yang biasa kita temukan mengenai pertemuan-pertemuan yang membicarakan suatu topik melalui pendekatan agama (Islam). Namun, kalau kita hayati, di dalamnya justru kental sekali unsur-unsur ketauhidan. Isinya tentang Allah saja. Dia di mana-mana.

Saya senang berkenalan dengan Maiyah ini, termasuk pula bersinggungan dengan Cak Nun-nya. Buat saya yang enggak terlalu agamis tapi senang pada konsep ketuhanan, pendekatan semacam ini lebih tepat. Agama, khususnya Islam (beserta perangkatnya: tuhan Islam, kitab Islam, dll.), tidak diposisikan sebagai sebuah label barang di supermarket yang isinya adalah cantuman harga mati, tidak bisa ditawar-tawar, menindas, dan kapitalis. Dalam perspektif Maiyah, tuhan ya tuhan yang menciptakan manusia. Agama hanyalah media bagi setiap orang untuk berhubungan dengan tuhannya yang menciptakan dirinya (itu sebabnya pertemuan Maiyah juga bisa dikategorikan sebagai forum lintas agama karena enggak melulu orang ber-KTP Islam yang datang). Jadi, tidak ada itu hitam-putih yang mudah sekali ditorehkan pada sesuatu yang dianggap paling benar atau paling salah, di sini yang ada justru kebangkitan kesadaran bahwa tuhan itu tak bernama, tak beragama, dan Dia sepenuhnya milik siapa pun yang sungguh-sungguh dengan ketulusan hatinya hendak berkasih-kasihan dengan Dia. Tuhan itu autentik dalam diri makhluk-Nya. Hanya dengan jujur dan menjadi diri sendirilah setiap manusia dapat menemukan penciptanya dan itu tak bisa diukur dengan sebanyak apa seseorang melakukan ritual agamanya. Tiada yang lebih indah dan mengagumkan selain perjumpaan seorang makhluk dengan penciptanya. Itu adalah saat-saat yang tak bisa dilukiskan, seperti menemukan belahan jiwa dan tempat paling tepat untuk merebah.

Sejak perkenalan itu, saya tak kepikiran untuk melanjutkan hubungan atau semacamnya dengan Maiyah ini. Namun, baru kira-kira seminggu terakhir dia hadir lagi dengan wajah yang sama, tetap terasa tepat dan dekat bagi saya. Itu berawal dari sebuah postingan di Kompasiana dari seseorang yang mungkin jemaah Maiyah atau salah satu "pengikut aliran" tersebut, entahlah. Saya kemudian seperti diingatkan kembali usai membaca postingan itu hingga perasaan ingin mengenalnya lebih dalam muncul dalam diri. Saya pun mulai browsing video ceramah Cak Nun di YouTube. Dan, benar saja, ada banyak bertebaran video beliau di sebuah perkumpulan yang tampaknya itulah pertemuan Maiyah. Saya mulai menontonnya satu per satu, mendengarkan dan menghayati setiap kalimat yang dilontarkan, seperti sedang meniti kembali jembatan dalam perjalanan spiritual saya. Sejauh ini, Cak Nun--melalui pendekatan keislamannya--dengan segala perenungan dan pemikirannya adalah yang paling mendekati orisinalitas diri saya sebagai manusia. Dia membawa pemahaman yang semakin mengukuhkan dan menambah ilmu dalam diri saya. Namun, tetaplah, seperti yang beliau sendiri sering tekankan, "Jangan ikuti Cak Nun. Jangan membesar-besarkan saya." Pada akhirnya, Cak Nun hanyalah "alat", mungkin juga guru, yang bisa saya ambil manfaatnya dari situ. Hakikatnya, tetaplah Dia yang menuntun saya pada jalan ini.

(Salah satu video ceramah Cak Nun)



Jika kamu salah satu para pencari tuhan, seperti saya, dan kurang cocok dengan konsep-konsep yang ditawarkan agama dan malah semakin dibikin jauh oleh agama kepada tuhanmu, cobalah alternatif lain yang mungkin bisa lebih menyentuh atau bahkan menyentilmu seperti yang disampaikan oleh Cak Nun dalam "ke-Maiyah-annya" ini. Siapa tahu ini lebih membuka, lebih cocok untuk jiwamu yang bebas dan merdeka namun tetap ingin manut pada ketetapan-Nya. Namanya juga perjalanan, kata orang kan, ada banyak cara menuju Roma.

Selamat mencari, ya! Semoga bertemu!


Buku Spiritual Journey: Pemikiran & Permenungan Emha Ainun Nadjib dapat ditemukan di Perpustakaan Nasional.
Sejarah singkat Maiyah dapat dibaca di sini.
Segala pemikiran Cak Nun dapat dibaca di sini.

0 comments: