Entah dari mana, datang begitu
saja ia. Mungkin sehabis berlayar ke Vancouver, Kanada, atau membawa guci-guci
cantik dari negeri Tiongkok. Entahlah, yang jelas ia datang. Ia berlayar
menujuku. Ia berlabuh tepat ketika ide-ide jatuh. Aku lalu menjelmakannya
cerita kanak. Kusambut ia bagai dermaga.
“Aku pulang…” katanya. “Selamat datang di dunia cerita…” jawabku. Lalu, ia bersandar begitu saja dalam imajinasi ini. Aku pun mulai mencari tahu. Berapa layar yang ia miliki? Siapa Sawerigading yang gagah berani itu? Bagaimana sejarah menilai arti diri mereka sendiri? Aku tak akan pernah tahu semua itu, bahkan hingga mati nanti, jika aku tak menulis. Dan, aku bersyukur atas karunia ini.
Dua
cerita kanak kubuat dalam bulan-bulan itu. Tema besar keduanya adalah pinisi, namun beda kisah dan sudut pandang. Cerita pertama dari mata sebuah buku tua, cerita kedua dari mata
orang ketiga. Aku menyukai keduanya. Cerita pertama kuikutkan pada lomba
menulis cerita anak untuk guru dan pustakawan. Tidak menang, tapi lolos 20
besar untuk dibukukan. Cerita kedua kuikutkan Eye Level Awards. Kuharap
nasibnya akan lebih beruntung.
Beberapa minggu sesudahnya,
sebuah pinisi berlabuh di rumahku. Layarnya putih susu. Jumlahnya ada tujuh:
dua pasang besar-besar di depan, tiga buah lebih kecil di belakang kapal. Kayunya
berwarna coklat tua. Di bawahnya ada tulisan: PINISI.
Suamiku tersayang yang memesan. Itu,
si Gitaris aneh teman hidup paling baik yang kupunya. Mendapati istrinya sedang
jatuh cinta pada sebuah kapal layar kebanggaan Nusantara, dipesankannyalah
untukku sebuah replika pinisi untuk pajangan. Ukurannya tidak besar, tapi bukan
di situ nilainya. Bagiku, ia adalah simbol.
Maknanya tak terhingga, mulai
dari "nenek moyangku orang pelaut" hingga siapa yang akan mewarisi semua ini?
Kekayaan telah ditinggalkan, tapi kita sibuk mencari sana-sini. Berdagang, main
saham, jadi karyawan. Ya, mungkin itu soal lain, tapi ini bagiku tak kalah
penting. Tiba-tiba kesadaran itu tumbuh begitu saja, seperti rasa ingin mengetahui
dan mencintai lebih utuh sesuatu yang merupakan asal diri kita sendiri, diriku.
Mendadak, aku merasa seperti Jonas si Penerima Kenangan dalam film The Giver. Akan
kutembus portal itu kelak, kuhapus semua sistem kekinian dalam diri manusia,
dan kusampaikan memori kita lewat cerita.
Manusia pernah hidup dengan
sangat luhur dan alamiah--bahkan cuaca pun tak hendak dikendalikannya. Aku hanya tak ingin melupakan itu.
Pinisi berlabuh di rumahku.
Inilah dermaga, inilah samudra. Ajarilah aku selalu. Kepada sesiapa aku minta: tuntun
kami senantiasa pada Ia yang bernama RAHASIA.
Pinisiku terbuat dari kayu terhebat
Tak lapuk dimakan ombak, tak landai diterjang badai
Aku adalah kapten bagi kapalku
Berlayarlah aku jauh, kapal melayar...
Kepada sahabat hatiku tertambat
“Ini kapal untukmu, Tuan.”
Di dermaganya ku ‘kan berlabuh
...
(“Cerita untuk Tuan”, 2014)
0 comments:
Posting Komentar