Menikah dengan Ney

Saya menikah bukan karena rasa CINTA, saya menikah karena PERCAYA.

Tiba-tiba saja kesadaran itu muncul, ketika di suatu sore sepulang libur panjang lebaran sekalian akad nikah di kampung halaman keluarga, saya duduk bersama Ney di rumah, mendengarkan kata-katanya dan menuruti petunjuknya. Tercetus pertanyaan dalam benak: Kenapa saya mau dan bisa mendengarkan lelaki ini?; Kenapa saya sedia menuruti dia? Dan, jawabannnya adalah... karena (ternyata) saya percaya sama Ney.

Pernikahan ternyata bukan sekadar cinta, pernikahan lebih dari itu. Sebelum Ney, saya pernah mencintai laki-laki lain, berganti-ganti, si ini, si itu, tapi bukan soal cinta penyebabnya hingga saya tidak pernah sukses menjalin hubungan dengan makhluk logika bernama lelaki itu, melainkan soal kepercayaan.

Katakanlah, tidak mudah bagi saya untuk bisa mempercayai orang lain. Mungkin saya mendengarkan mereka, tapi kebanyakan itu sebatas masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Banyak orang yang kesal dengan sikap nyeleneh dan bebal saya ini. Orang-orang terdekat saya pasti pernah merasakan kekesalan ini, betapa berargumen dengan saya adalah kesia-siaan belaka. Saya sadar betul, sungguh sulit membangun rasa percaya yang penuh kepada orang lain, mendengarkan nasihat mereka, mengikuti arahan mereka. Saya berdiri atas kepercayaan saya sendiri. Namun, nyatanya, kita tak bisa selamanya begitu. Kita, manusia, tetap butuh orang lain, tetap butuh bersama-sama dengan seseorang atau lebih dalam hidup ini. Saya tak bisa sendiri.

Maka, bersama Ney, tujuh tahun dilalui hanya untuk membangun sebuah rasa yang sulit saya miliki itu. Tujuh tahun yang susah, tujuh tahun yang payah. Tapi, kenapa saya masih bertahan, tidak seperti yang sudah-sudah, mudah meninggalkan dan ditinggalkan, kemudian berakhir dengan kehancuran yang lebih tragis. Well, mungkin karena tanpa saya sadari, saya percaya sama lelaki yang satu ini, bahkan sejak kali pertama saya bertemu dia dan melakukan sebuah percakapan seru nan aneh di sebuah malam tahun baru 2006. Saya mendengarkan dia. Ibarat sebuah kelas, saya murid dan dia gurunya. Dan, saya adalah murid yang nakal. 

Lain waktu saya sangat bisa menjadi murid yang baik dan patuh, waktu berikutnya saya bisa menjadi murid yang pembangkang dan sangat bodoh. Belajar hidup itu susah ternyata, tidak boleh main-main, dan harus sungguh-sungguh. Sebagai anak manusia yang nyaris telanjur kehilangan kepercayaannya, adalah sebuah PR besar untuk bisa bangkit lagi berdiri di atas rasa percaya yang utuh, rasa percaya yang universal, dan bukan rasa percaya yang dibangun oleh pemikiran diri sendiri. Saya harus mengembalikan lagi rasa PERCAYA kepada tempatnya.

Bersama Ney saya belajar untuk itu, selama tujuh tahun ini, hingga di suatu hari itu, ketika KEPERCAYAAN dikultuskan, mungkin pula ditaruhkan. Tidak ada yang tahu bagaimana jalan ke depan nanti, namun barangkali di situlah letak pengujian yang sesungguhnya, menerapkan apa yang telah saya pelajari selama ini, menjadikan rasa PERCAYA lebih tinggi dari apa pun yang melandasi perjalanan hidup manusia di dunia.

Mencintai barangkali lebih mudah daripada mempercayai.

Saya hanya perlu percaya, dengan kelahiran saya, dengan pernikahan ini, dengan kehidupan nanti, dengan kematian dunia. Saya hanya perlu percaya karena sebagaimana halnya dengan hidup, pernikahan tidak cukup hanya dengan cinta, tetapi juga rasa percaya yang utuh pada manusia lain, Tuhan, perjalanan, dan terlebih pada diri sendiri.

Saya percaya, maka saya menikah...


Menikah dengan Ney:
Minggu, 11 Agustus 2013

2 comments:

Ummu Shafiyyah mengatakan...

happy wedding yah kak ery sama kak devi <3 muga langgeng .......... <3

Unda Anggita mengatakan...

nice wedding anniversary writing ^^