Empat Hari

Hap. Hap. Saatnya menjadi orang dewasa lagi! Saatnya kembali tegar.. ^^

Selama empat hari kemarin saya jadi anak manja lagi. Bahagia… sekali rasanya didatangi mereka. Mama dan Ines hadir membawa warna yang begitu kuat dalam hati ini, begitu menyentuh, begitu sesak. Saya seperti disadarkan, bahwa ada suatu waktu di rentang masa dewasa kita, kita begitu merindukan berada di tengah-tengah keluarga, orang-orang yang kita sayangi, dan kita kembali menjadi seorang anak seutuhnya, tanpa beban kedewasaan.
Itulah yang terjadi pada saya belakangan. Saya tidak bisa pastikan kapan tepatnya. Namun, sejak kepulangan saya ke Kuningan bulan November kemarin ketika ada libur panjang, saya selalu rindu kembali berada di tengah-tengah keluarga, di antara Mama dan Ines. Entah mengapa. Dan saya selalu berharap bisa cepat-cepat berkumpul lagi, entah kapan itu, di antara senggang yang saya miliki, hingga... hari Minggu kemarin mereka datang ke sini, ke Rumah Puspa! Saya bahagia rasanya.

Di antara empat hari kebersamaan kami, saya melewati hari Senin dan Selasa saya dengan pulang cepat dari kantor. Kebetulan sekali bos-bos sedang dinas luar. Ruangan kerja saya sepi sekali. Ini kesempatan baik untuk makan gaji buta. Hehe. Saya gak mau waktu berkumpul saya dengan keluarga sedikit. Kapan lagi? Hari Rabunya bahkan saya tidak masuk kerja. Mama dan Ines akan pulang malam itu dengan dijemput mobil travel. Saya ingin melewati seharian saya dengan tidak pergi ke kantor. Saya mau menghabiskan waktu dengan keluarga. Tapi, tampaknya, semua itu tetaplah belum cukup.

Saya tidak menyangka akan sedramatis itu. Sepulang mereka, saya merasa begitu sepi, begitu sedih, begitu menderita. Saya pun menangis. Hiiiks. Rasanya Mama dan Ines masih ada di rumah ini, ramai, berbicara dengan volume suara yang keras (seperti kebiasaan keluarga kami), menyetel televisi, membuat masakan, berantakan. Tapi, malam itu suasana begitu sepi. Tampak lebih sepi dari malam-malam sebelumnya ketika Mama dan Ines belum ke sini. Oh… sesaknya.

Ney pun akhirnya menemani hingga larut malam lewat kata-kata dalam SMS. Satu hal lagi yang saya sadari malam itu. Di masa keterpisahan saya dengan keluarga yang telah terjadi selama hampir tiga tahun ini, adalah Ney, yang telah senantiasa menguatkan saya untuk tetap berdiri dan bertahan. Ney telah mampu membuat saya tetap merasa dekat. My homeMy family. My heart. Tahun-tahun pun berlalu dengan begitu tegar namun alamiah. Ney telah disulap sebagai pengganti Mama dan Ines, bahkan Papa juga. Ia berperan dengan utuh, melengkapi . Meskipun tinggal berjauhan dengan keluarga, Ney telah menjadi jembatan tak kasatmata yang senantiasa menghubungkan hati-hati yang seharusnya tetap terjalin. Dengan begitu, kami semua tenang. Kami semua sepakat untuk tetap dekat, sejauh apa pun jarak memisahkan. Dan kami tidak merasa khawatir sedikit pun. Kami bahagia. Kami semua dijaga.

Selama empat harian itu, Mama merapikan rumah ini. Saya tidak melarangnya sama sekali. Ia suka melakukan itu. Saya tahu, ia sangat mengidamkan berperan sebagai ibu yang semestinya bagi anaknya yang satu ini. Saya, si sulung yang sejak dahulu inginnya hidup sendiri (baca: mandiri), seakan hidup tak membutuhkan orang lain saja. Si anak pertama yang keras dan sulit didekati. Hehe. Namun, belakangan, ketika bersama Mama, saya membiarkannya menjadi apa pun yang ia mau lakukan terhadap saya. Tak pernah lagi ada pertentangan. Tak pernah lagi ada terdengar istilah, “Tak usah. Tak apa. Saya bisa melakukannya sendiri,” dari mulut ini. Saya menikmati diurus dan dimanjakan. Mungkin, saya sedang lelah menjadi orang dewasa--atau, Rumah Puspa sudah sangat berantakan dan saya kesulitan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga sendiri?! Beda-beda tipis. Hehe.

Ini sudah akhir tahun. Dan mungkin benar, saya memang sudah sedang lelah setahunan ini bekerja. Tubuh dan jiwa juga butuh masa hibernasi. Saya ingin terlelap sejenak untuk kemudian terbangun kembali dengan energi baru yang masih penuh. Kelelahan yang saya rasakan ini telah mengaplikasikan diri ke dalam rasa rindu pada masa kecil, rindu menjadi anak-anak, rindu berkumpul di tengah-tengah keluarga: bercanda, bermanja. Itulah yang terjadi dengan saya belakangan ini. Kerapuhan saya sungguh menjadi-jadi. Rasionalnya, saya ini sedang menstruasi, dan mungkin semua ini dipicu oleh kondisi hormon yang sedang tidak stabil? Namun, pada akhirnya, sensibilitas ini membawa juga saya pada perenungan-perenungan yang mendalam. Orang bilang, inilah yang dinamakan seninya hidup.

Anakmu Bukan Milikmu

Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu pada dirinya sendiri.
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau.
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk
pikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikiran sendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya,
sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi sekalipun dalam impian.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu, sebab kehidupan
tidak pernah berjalan mundur.
Pun tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, anak-anakmulah anak panah yang meluncur.
Dia menentangmu dengan kekuasaan-Nya,
hingga anak panah itu melesat jauh dengan cepat.
Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan
Sang Pemurah,
sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat.
Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap.

(Kahlil Gibran)

The Life
Dan saya pun belajar untuk menjadi sebuah busur. Kelak saya seperti Mama yang akan melepas anak panahnya, meluncur, melesat jauh dalam alam pikirannya sendiri, seperti saya kini. Pasti berat. Menjadi seorang ibu pun sudah merupakan sesuatu yang berat, ditambah harus belajar melepaskan nantinya. Namun, begitulah kehidupan...  

By the way, happy birthday, Mama. Always be great!


0 comments: