Seren Taun Guru Bumi 2012

Sabtu lalu (14 Januari 2012), saya diantar Ney pergi ke Sindang Barang, Bogor. Tepatnya adalah ke Kampung Budaya Bogor yang terletak di Desa Pasir Eurih, Taman Sari. Tujuan kami ke sana adalah untuk menyaksikan rangkaian acara Seren Taun Guru Bumi Bogor yang tengah berlangsung sejak 11 hingga 15 Januari 2012. Menurut jadwal yang tertulis di website Kampung Budaya Sindang Barang, pukul 19.30 di Sabtu itu akan ada acara pertunjukan kesenian, sementara puncak acara Seren Taun Guru Bumi akan dilangsungkan pada keesokan harinya, Minggu pagi.

Kota Bogor sore itu diguyur hujan sejak pagi. Kami berangkat saat hujan mulai reda, yaitu usai magrib. Setelah bertanya kepada calo, kami menaiki angkot O3 jurusan Sindang Barang, yaitu yang ada tulisan SBR-nya. Kami pun berangkat ketika langit mulai gelap. Perjalanan lumayan jauh, penuh penumpang di dalam angkotnya, hingga berasa, aduh.. gw mo dibawa ke mana, nih? Asing.. gelap. Rasanya sungguh aneh.

Benar saja, kami diturunkan di sebuah belokan yang kata si supir turun di situ kalau mau ke Kampung Budaya. Gelap, pepohonan rindang, hanya tampak beberapa rumah yang menyala, tapi untung ada warung di depan belokan itu, dan beberapa warga yang mengojek. Sepi sekali suasana di sana. Benarkah sedang berlangsung pesta rakyat?

Usai bertanya, salah satu warga yang mengojek itu menjelaskan, "Sekarang mah, gak ada acara. Cuma rapat-rapat aja panitianya. Persiapan buat acara besok." Saya agak kaget juga dengan keterangan itu sebab menurut jadwal di website, malam ini akan ada pertunjukan kesenian. Saya pun bersikeras dengan informasi yang saya punya, tapi lagi-lagi warga itu menegaskan bahwa tidak ada acara. Dalam hati, saya merasakan ada sesuatu yang ganjil. Karena penasaran, kami memutuskan untuk ke sana. Jarak dari belokan itu ke Kampung Budaya sekitar 800 meter-an, ditempuh dengan ojek, sebab jalanannya sempit, menanjak, sepi, dan gelap. Agak mengerikan di malam hari sehabis hujan seperti ini.

Ojek kami berhenti di sebuah warung kecil. Menuju ke Kampung Budaya harus jalan lagi, hanya sedikit. Ojek tadi akan menjemput kami lagi sejam kemudian. Kami pun berjalan kaki menuju tempat tujuan yang tampaknya tidak ada tanda-tanda "kehidupan", tidak ada acara atau sebuah perayaan. Sepi, senyap, gelap, kami berjalan di jalan berbatu untuk mencapai area Kampung Budaya. Begitu tiba, tarra... Benar. Sepi.

Supir ojek yang mengantar Ney menjelaskan bahwa tahun ini Seren Taun agak berbeda, sebab yang dilibatkan dalam perayaan hanya satu RT, tidak lagi melibatkan beberapa RW. Tahun ini akan tampak lebih sepi dari tahun-tahun sebelumnya. Di tempat tujuan pun kami bertemu dengan pengunjung. Kami berkenalan, yang satu seorang bapak berprofesi guru, yang satu pemuda-penulis-petualang, Harley namanya. Mereka kemudian menjelaskan bahwa tahun ini Seren Taun memang sepi. Mereka yang hampir tiap tahun datang mengatakan bahwa di tempat kami berdiri saat itu, yaitu sebuah balai besar terbuka di pinggir alun-alun, pada tahun lalu di waktu begini sudah dipadati oleh orang-orang yang akan menonton pertunjukan wayang golek. Sementara itu, malam ketika kami di situ, balai itu sepi, tepat hanya kami berempat yang ada di sana. Terheran-heran sendiri dan akhirnya berbincang seadanya.

Kata Harley, tahun ini Seren Taun Guru Bumi dibuat berbeda. Seren Taun Guru Bumi tidak dirayakan semeriah tahun-tahun sebelumnya sebab kali ini pesta rakyat itu hendak dikembalikan kesakralannya. Tampaknya, kemeriahan di tahun-tahun lalu membuat nilai sakral dari upacara adat ini terkikis hingga kemudian muncullah ide untuk "menyederhanakan" pesta rakyat ini demi memunculkan kembali nilai sucinya. Karena itu (masih menurut keterangan Harley), tidak ada sponsor. Jika tahun lalu, umbul-umbul sudah terpasang dari jarak berapa meter, bendera rokok terpampang di sepanjang jalan sebagai sponsor, maupun spanduk selamat datang di Seren Taun Guru Bumi menyambut para pengunjungnya, tahun ini, semua itu tidak lagi ditemukan. Memang, sepanjang jalan menuju Kampung Budaya tadi, kami tidak menemukan tanda-tanda itu. Tapi, saya pikir, itu karena suasana di luar terlalu gelap sehingga saya tidak mampu menangkap, tidak kepikiran bahwa tanda-tanda kemeriahan itu benar-benar tidak ada.

Saya dan Ney memutuskan keluar dari area Kampung Budaya itu. Ada beberapa orang, mungkin wartawan, duduk-duduk di rumah adat di sana. Ada beberapa orang lainnya di bibir panggung di atas sana, sedang berbincang, tampak juga wisatawan asing yang mungkin menyewa tempat bermalam di situ, berjalan-jalan di tepi alun-alun. Terdengar bunyi musik Sunda, tapi tak terasa kedaerahannya sebab itu musik pop Sunda, seperti yang biasa dinyanyikan Doel Soembang dan Lilis Karlina.

Kami duduk di tepi jalan, menunggu ojek menjemput. Di sebelah kami adalah sawah yang menghampar, gunung-gunung di sebelah sananya, saluaran air jernih di belakang kami, tapi semua itu saru saja, sebab gelap lebih mendominasi pemandangan. Tiba-tiba dari arah entah mana, sebuah cahaya kelap-kelip menyembul di antara kegelapan: seekor kunang-kunang! Serangga ini, kami hampir yakin, telah punah, hingga kami, saya dan Ney, menemukannya di sini, Kampung Budaya Sindang Barang. Kami takjub sendiri.

Kami menunggu angkot kembali di warung di belokan itu, tempat pertama kami turun dan naik ojek. Sambil menunggu kami mengobrol dengan si ibu penjaga warung, berkisah tentang Seren Taun Guru Bumi, dan menemukan kemungkinan lain atas informasi yang kami dapatkan.
"Kurang dana, kali," ucap si ibu lugu itu sambil membetulkan letak kerudungnya. "Tahun kemaren, malam-malam begini, jalan ke sana udah penuh sama kendaraan, motor-motor, sampe susah jalan. Kerbau yang dipotong juga sekarang mah, cuma satu. Kalau biasanya kan, tiga."
Kami hanya diam mendengarkan. Angkot kami datang. Saya dan Ney pulang.

Kembali ke-Kesakralan, Kurangnya Perhatian
Kota Bogor sekarang ini sudah sangat ramai. Pertumbuhannya sudah menyerupai Jakarta. Mal dibangun di mana-mana, pusat keramaian ditempatkan hampir di sepanjang jalan. Jaraknya beberapa meter saja dari satu mal ke mal lainnya. 
Saya dan Ney duduk di depan pagar mal terbesar di kota hujan ini, Botani Square. Sambil menyeruput bajigur hangat yang kami pesan dari tukang bajigur panggulan asli Leuwiliang, seorang bapak yang sudah tua yang sedang menghitung uang saat kami menemukannya, kami berevaluasi. Ya ampun! Baru beberapa menit yang lalu kami berada di sebuah tempat yang asing-sangat-asing, jauh dari keramaian kota, sebuah dusun yang buhun, gelap, senyap, tapi kini kami sudah ada di tengah-tengah sesuatu yang urban lagi. Betapa jarak keduanya begitu dekat, tapi sekaligus begitu jauh.. sangaat jauuh...

Siapa yang tahu, bahwa di sana, di suatu tempat di kota ini, yang letaknya bisa saya tunjuk pakai jari, sebuah masyarakat sedang melangsungkan pestanya sendiri, yaitu sebuah upacara adat sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen. Ialah Seren Taun Guru Bumi, yang malam ini tampak sepi, tidak sesuai dengan jadwal yang tertera di website tempat penyelenggaraan acara. Mungkin persiapan para panitia kurang matang, mungkin memang upacara adat itu benar hendak "disederhanakan" (baca: demi menjaga kesakralan), atau mungkin juga pendapat si ibu penjaga warung nan lugu itu tepat bahwa dananya kurang. Malam itu, saya mendadak sedih.. sekali. Keganjilan kami tampak beralasan sekarang. Ada sesuatu yang mengironi.

Kami menghabiskan malam itu dengan berbincang, berdua saja, sambil nyeruput bajigur, di tengah mobil-mobil mewah yang berlalu-lalang di jalanan, dan orang-orang kekinian yang memborong belanjaan. 

Kami lalu berpikir.. Kemapanan adalah keseimbangan. Bukanlah bentuk ketinggian dari sebuah kerendahan. Keseimbangan adalah berjalan di antara sebuah kesederhanaan dan kemodernan sekaligus. Kebudayaan dan keurbanan dipadukan atau paling tidak, tak perlu ada yang dianakemaskan dari sesuatu yang mungkin tampak kuno.
Pemerintah Kota Bogor mungkin tak sengaja meluputkan atau memang kesadaran pada akarnya sedikit sebab kota hujan ini telah hampir menyentuh langit dan sesuatu yang di dasar itu tak kelihatan lagi dari atas sini. Mungkin ada yang tak seimbang dari pertumbuhan kota sebesar Bogor sehingga saya hampir bisa merasakan kesedihan itu yang menyembul di antara kejayaan.

Kota itu saru, seperti gelap yang menyergap kami di Kampung Budaya, sementara seekor kunang-kunang muncul di antaranya, menyeruak dan menyadarkan, bahwa ia masih ada, masih hidup: ialah kemampuan bumi ini untuk bersyukur atas limpahan alam, sebuah tradisi yang luhur dan hampir terlupakan.

Seren Taun Guru Bumi 2012
Saya tidak menyaksikan puncak acara Seren Taun Guru Bumi 2012 Minggu paginya, padahal di situlah inti upacaranya dan keramaian pesta rakyat ini. Masyarakat beriring-iringan membawa hasil bumi yang telah dirangkai sedemikian rupa sehingga membentuk visualisasi yang cantik. Penduduk memainkan kesenian tradisional, perempuan-perempuan menari, para pemuda berpakaian khas Sunda. Itu sungguh menarik. Meskipun tidak datang, saya mampu membayangkan, setidaknya mungkin hampir sama dengan Seren Taun di Cigugur Kuningan. Pada intinya, keduanya memang sama, yaitu upacara tahunan masyarakat Sunda sebagai bentuk rasa syukur atas hasil bumi yang melimpah. Namun, barangkali, tiap daerah punya kekhasan masing-masing dari perayaan Seren Taun yang mereka lakukan sebab pada praktiknya, tradisi ini menjadi sebuah kebudayaan yang menarik dan potensi pariwisata yang sangat baik bagi daerah yang bersangkutan.

Setiap daerah pasti punya ciri masing-masing dalam merayakan Seren Taun yang tidak bisa dibandingkan antara yang satu dan yang lainnya. Begitu pula, saya tidak bisa membandingkan upacara Seren Taun yang diselenggarakan di Cigugur-Kuningan dengan yang di Sindang Barang-Bogor. Namun, paling tidak, dari kejadian minggu kemarin itu, saya jadi bisa melihat, bahwa peran pemerintah daerah cukup berpengaruh atas berjalannya kegiatan kebudayaan ini. Dengan kata lain, pemerintah mana yang lebih peduli akar dari yang mana, saya mungkin tidak buta.

Sebuah artikel saya baca mengenai Seren Taun Guru Bumi Bogor (lihat sini), sedikitnya mengulas sejauh mana peran pemerintah Bogor terhadap kegiatan kebudayaan ini. Sayang, memang hanya itu sumber yang saya punya sebab saya tak bisa datang langsung di hari H-nya sehingga kesempatan untuk "berinvestigasi" pun tak ada. Saya tak hendak menyimpulkan apa-apa. Tapi, beginilah kenyataannya seada-adanya yang saya ceritakan. Mudah-mudahan, Seren Taun Guru Bumi tahun mendatang lebih meriah lagi (tanpa menghilangkan kesakralan), lebih terpublikasikan dengan baik, dan mampu menarik sebanyak-banyaknya wisatawan, terutama warga Bogor sendiri yang mungkin tidak pernah tahu ada acara kebudayaan semacam itu. Semoga ke depan pemerintah Bogor lebih peduli lagi kepada akar dan kegiatan Seren Taun Guru Bumi tetap lestari, abadi.

*Maaf, saya tidak foto-foto, tentang suasana malam di Kampung Budaya, tentang kunang-kunang yang tenyata masih ada! Thanks Ney sudah nemenin.. :) 

0 comments: